Friday, September 12, 2014

TIYANAK, CINTA YANG TERKUBUR DI DAVAO CITY

Note: Cerpen yang diikutsertakan dalam lomba #hororkotadunia kampusfiksi DivaPress


TIYANAK, CINTA YANG TERKUBUR DI DAVAO CITY
Oleh: Veronica Faradilla
            Davao, Mindanao. Filipina, 2010.
            Sudah sejak sore rumah sakit yang terletak di Davao city itu terlihat dingin dan sepi. Pada sudut-sudut lorong hanya terdapat beberapa orang suster yang hilir mudik.  Sedangkan beberapa orang keluarga pasien duduk terkantuk-kantuk di dalam ruang tunggu. Sayup-sayup suara televisi terdengar dari ruang tunggu. Selebihnya, sunyi. Keheningan memancar, membuat rumah sakit itu menebarkan aura suram dan mati.
Hanya ada satu ruangan yang terlihat ada kehidupan, yakni kamar praktik dokter Andrew Hagorilez. Dokter Andrew adalah seorang dokter kandungan yang sudah berusia matang. Di dalam kamar praktik, seorang perempuan muda sedang sibuk berbincang dengan dokter Andrew. Wajah dua orang itu menyiratkan ketegangan.
            Buntis ko,”[1] ujar perempuan muda itu. Telapak tangan kanannya mengelus-elus perutnya yang membuncit.
            Seryoso? Ginoo ko!”[2] seru dokter Andrew. Butir-butir keringat membanjiri keningnya, lalu jatuh ke pakaian yang dikenakannya. Dokter Andrew menatap perut sang perempuan dengan penuh kecemasan. Dia bingung apa yang harus dia lakukan terhadap janin di dalam perut wanita simpanannya.
            Responsibilidad ni nimo kundi tabangi ko mag pa abort!”[3] Sang perempuan memberikan pilihan.
            Sigurado ka?”[4] Dokter Andrew menelusuri bola mata sang perempuan.
            Oo, dli pako ganahan mahimon inahan,”[5] sahut sang perempuan dengan tegas.
            Dokter Andrew menghela nafas dalam-dalam. Dia mengusap keringatnya. Lirih dia bergumam, “Sige.”[6]
            Dengan gemetar Dokter Andrew menidurkan kekasih gelapnya pada ranjang rumah sakit. Lalu malam lembab itu menjadi saksi atas pembunuhan janin tak berdosa, yang bahkan belum bisa berkata “tidak” ataupun berteriak untuk menolak.
***
            Marcopolo Hotel, 2014.
            Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Aku menjejakkan kaki di sebuah hotel sederhana yang terletak di Recto Street, Davao City. Aku memilih hotel ini karena letaknya cukup dekat dengan bandara. Setelah selesai melakukan reservasi, aku segera masuk ke dalam kamar untuk beristirahat sejenak. Aku membuka tirai jendela kamarku.
“Keren!” seruku takjub.

Aku beruntung, posisi kamarku cukup bagus. Dari sini aku dapat memandangi laut yang sudah agak menggelap. Lampu-lampu yang berpijar dari bangunan di sekitarnya membuat laut ini terlihat serupa karpet hitam dengan manik-manik putih pada tepiannya. Malam cukup cerah. Cuacanya tidak terlalu panas ataupun terlalu dingin. Semuanya sempurna sampai saat ini. Aku berharap liburanku di Filipina tahun ini berjalan dengan lancar.
“Adam!” panggil seseorang.
Aku menoleh. Aku melihat Allysa Lauron, temanku yang berkebangsaan asli Filipina, sedang berdiri di dekat pintu kamar. Wajahnya lumayan cantik dan agak kebule-bulean. Wajar karena ada darah Spanyol yang mengalir di tubuhnya. Dialah yang menjemputku dari Francisco Bangoy International Airport, lalu mengantarku sampai ke sini. Dia juga berjanji akan menjadi guide-ku selama di sini.
Mabuhay[7], and enjoy your night at Davao!” ujarnya dengan aksen bahasa Inggris yang lumayan enak didengar. Hal itu dikarenakan Allysa sudah terbiasa berbicara dengan bahasa Inggris, atau setidaknya dengan tag-lish[8].
Salamat,”[9] sahutku dengan senyum lebar. “Magiingatka[10], Allysa.”
            Bersamaan dengan itu, Allysa mengangguk lalu pergi meninggalkanku. Aku tahu besok pagi dia akan kembali menjemputku. Sudah lima tahun aku mengenal Allysa. Perjumpaan pertama kami bermula ketika aku tengah melakukan solo travelling ke Intramuros, Manila. Saat itu dia juga tengah melakukan perjalanan wisata bersama sekolahnya. Tanpa malu-malu dia menghampiriku, lalu memintaku untuk memotretnya bersama teman-temannya. Jelas saja aku kebingungan akan bahasa yang dia gunakan.
            “Oh maaf, aku pikir kamu Filipino,”[11] ujarnya, kali ini dengan menggunakan bahasa Inggris.
            “Tidak apa-apa,” sahutku.
Aku memotretnya. Dari lensa kamera aku mengagumi betapa cantiknya dia. Seragam putih, dasi berbentuk pita, dan rok kotak-kotak membuatnya terlihat semakin manis. Sejak saat itu, kami mulai berbincang dengan akrab. Sosoknya yang supel dan ceria membuatku langsung jatuh cinta kepadanya. Hubungan kami dilanjutkan lewat internet dan fasilitas chatting pada android, hingga akhirnya aku bertemu dengannya kembali di pulau Mindanao, tepatnya di kota ini. Jika mendengar kata Filipina, maka aku akan langsung teringat kota ini dan gadis cantik yang tinggal di sini. Allysa begitu spesial, menaburkan jejak yang begitu mendalam pada jiwaku.
            “Tuhan, izinkan aku bisa menyatakan cinta padanya dengan lancar,” gumamku. Aku memang ingin hubunganku dengan Allysa lebih dari sekedar teman. Aku sudah bosan memendam mimpi-mimpi berpacaran dengannya. Aku harus menjadikan mimpi itu sebagai kenyataan. Apalagi sepengetahuanku dia belum pernah berpacaran. Jika aku berhasil menjadi pacarnya, maka aku akan menjadi orang pertama yang menghuni hatinya.
***
            “Adam!” seru Allysa di depan pintu kamar hotelku.
            Aku yang masih terkantuk-kantuk segera beranjak dari tempat tidur, lalu membukakan pintu untuk Allysa.
            Allysa mengenakan topi, kaos lengan panjang, jaket tebal, celana jeans, dan sepatu boot. Meskipun dia berpakaian seperti laki-laki, namun dia tetap terlihat menarik, membuat mataku menjadi segar.
            “Kita tidak punya banyak waktu!” ujar Allysa saat aku datang membawakannya minum.
            “Kenapa?” tanyaku, dengan raut wajah bingung.
            “Kita kan mau jalan-jalan,” tukas Allysa.
            “Iya, tapi ini kan masih terlalu pagi. Aku juga belum mandi,” ujarku.
            “Cepat siap-siap! Kita mau wisata ke hutan!”
            Aku melongo. Hutan? Aku tahu Allysa memang suka jalan-jalan. Hal itu terlihat dari foto-foto yang biasa dia pajang di media sosial. Namun sejak kapan gadis ini menyukai wisata ke hutan? Biasanya Allysa lebih menyukai wisata ke pantai ataupun wisata kota.
            “Bukannya perjalanan ke hutan membutuhkan persiapan fisik yang matang?” tanyaku sembari berpikir keras mengenai rencana penembakanku terhadap Allysa yang terancam gagal. Menurutku hutan bukanlah tempat yang romantis untuk menembak seseorang.
            “Aku kuat kok,” sahutnya. “Kamu tidak usah khawatir ya. Aku tahu hutan yang bagus.”
            Sebagai laki-laki yang ingin membahagiakan wanita yang disukainya, akhirnya aku mengalah dan memilih untuk menuruti keinginan Allysa. Kami berdua pergi wisata ke hutan dengan persiapan dan bekal seadanya.
            Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang dengan menggunakan taksi, kami tiba juga di tempat yang dimaksud oleh Allysa. Eden Nature Park. Tempat ini ternyata bukanlah hutan liar, melainkan sebuah kawasan wisata yang menawarkan sensasi berpetualang di alam. Tiket masuknya tidak terlalu mahal, hanya sekitar 180 peso. Aku mendapatkan snack berupa tuna sandwich dan minuman. Karena petugasnya lalai, aku hanya membayar untuk satu tiket saja. Allysa menatapku lalu tertawa.
            “Kamu sedang beruntung, Adam!” tukas Allysa.
            “Ya. Tapi kamu mengerjaiku. Aku pikir kita akan pergi ke hutan yang belum terjamah,” tukasku sembari melirik Allysa. “Aku pikir aku akan bertemu dengan harimau, ular, dan monyet-monyet liar. Semua itu pasti menakutkan. Bagaimanapun, kamu adalah tanggung jawabku. Aku harus menjagamu.”
            Allysa menyahuti ucapanku dengan tawa.     Melihat tawanya yang ceria membuat kekesalanku menguap begitu saja.
            “Ayo masuk,” ajaknya. Tiba-tiba dia menggandeng tanganku, membuatku terkejut dan menahan nafas. Detak jantungku sudah tidak beraturan.
            “Adam, kamu tidak apa-apa?”  tanya Allysa.
            “Eh… Ng… Iya a-aku tidak apa-apa,” sahutku.
            “Wajahmu terlihat aneh, seperti impakto[12].” Tawa Allysa kembali berderai.
            Aku tersenyum. Bersama Allysa aku berjalan menyusuri keindahan alam di Eden Nature Park. Karena hari ini bukanlah weekend, tempat wisata ini tidak begitu ramai, malah cenderung sepi. Hampir tidak terlihat ada orang selain aku dan Allysa. Allysa menggenggam tanganku semakin erat, menambah kepercayaan diriku.
            “Allysa, izinkan aku mengatakan sesuatu kepadamu,” ujarku berusaha setenang mungkin.
            Sementara itu Allysa menatapku dengan sorot mata ingin tahu.
            Mahal kita,”[13] ujarku sembari memejamkan mata.
            Allysa tertawa, “Belakangan ini bahasa Tagalogmu semakin baik. Apa karena ayahmu adalah Filipino?”
            Wajahku memerah. “Tolong seriuslah.”
Sejujurnya aku tidak mau Allysa membuka percakapan mengenai Ayahku. Ya, dia memang seorang laki-laki berkebangsaan Filipina. Namun dia adalah laki-laki yang sangat tidak bertanggung jawab. Setelah menghamili ibuku, dia kembali ke negara asalnya, lalu menghilang tanpa kabar. Beginilah aku yang tumbuh tanpa keberadaan seorang Ayah.
            Allysa terdiam. “Aku suka kamu, tapi…”
            Aku nyaris putus asa. Dari nada suara Allysa, aku takut jawabannya adalah penolakan.
            “Aku…” Ucapan Allysa terpotong ketika kami berdua sama-sama mendengar suara seorang bayi yang sedang menangis.
            “Bayi siapa itu?” tanyaku.
            Allysa mengangkat bahu. Wajahnya menyiratkan keheranan.
            “Mungkin ada seorang ibu yang kehilangan bayinya. Ayo kita cari!”
            Allysa segan, namun dia terpaksa mengikutiku. Aku dan Allysa berjalan menyusuri hutan, mengikuti sumber suara. Betapa terkejutnya kami ketika melihat sesosok bayi kecil telanjang, dengan tubuh yang masih kemerah-merahan, tergeletak begitu saja di tanah, di antara akar pepohonan. Aku menduga bayi itu baru saja dilahirkan. Tangan kecilnya menggapai-gapai udara. Mulut kecilnya terbuka lebar menantang langit.
            “Astaga, siapa ibu yang tega membuangnya!” seruku kesal. Aku berniat menghampiri bayi tersebut, namun Allysa mencengkram pergelangan tanganku. Aku menoleh, “Allysa, kita harus menyelamatkan bayi itu dan memberitahu petugas tempat wisata ini. Kalau tidak bayi itu akan mati!”
            Allysa menggeleng. Aku melihat ketakutan yang teramat dalam pada sorot matanya. “Jangan ke sana!”
            “Kenapa?” tanyaku tak mengerti.
            “Ternyata dia dikubur di sini. Itu tiyanak! Tiyanak[14]!”
            Aku bertambah bingung. Aku kembali menoleh ke arah bayi yang menangis semakin keras. Saat aku menoleh kembali ke arah Allysa, aku terkejut ketika tidak menemukan sosok Allysa. Gadis itu menghilang. Kepanikanku bertambah besar. Berulang-ulang aku memanggil namanya, namun suaraku hanya disahuti oleh suara tangisan bayi. Allysa seperti lenyap ditelan bumi.
            Tanpa pikir panjang aku segera menghampiri bayi itu lalu menggendongnya. Aku harus membawa bayi ini kepada petugas tempat wisata, sekalian melaporkan hilangnya Allysa. Dengan langkah yang kian cepat, aku berjibaku mencari jalan keluar. Tiba-tiba aku merasa bayi di dalam gendonganku semakin berat. Aku menunduk untuk menatap bayi tersebut, namun aku terkejut ketika melihat wujud bayi tersebut sudah berubah total. Wajahnya yang mungil berubah menjadi penuh keriput dan menyeramkan. Matanya yang seukuran koin logam menatapku tajam, seakan-akan hendak memakanku bulat-bulat. Gigi-giginya yang runcing dia pamerkan, membuat tubuhku beku ketakutan.
            “Aaaaahhhh!!!!” jeritku panik. Spontan saja aku melemparkan makhluk di tanganku itu. Namun makhluk itu mencengkram tanganku dengan erat. Cakar-cakarnya yang tajam menusuk menembus kulitku, menyobek dagingku, hingga darah mulai membanjiri tanganku.
            “Tolooooong! Toloooooong!” Aku berusaha melepaskan diri dari cengkraman makhluk di hadapanku ini. Cukup lama aku bertahan dari amukan makhluk yang hendak menghisap darahku, lalu membunuhku. Tetapi perlahan-lahan tenagaku mulai terkuras. Tubuhku melemas, lalu pandanganku menjadi gelap. Aku sudah pasrah untuk mati.
***
            Aku membuka mataku. Cahaya terang menyilaukan mataku. Aku tersentak bangun dan melihat diriku sedang berada di kamar hotel.
            “Mimpi?” gumamku.
            Saat aku menoleh, aku melihat seorang gadis sedang duduk di bangku meja rias. Dia menghadap ke arahku.
            “Allysa?” Aku buru-buru lompat dari tempat tidurku dan menghampirinya. Aku mengamati Allysa yang terlihat lain. Wajahnya yang biasa ceria kini murung dan pucat.
            Allysa memberikanku sepucuk surat. Setelah itu dia keluar dari kamar hotel. Aku terkejut ketika melihat ada tiyanak yang memeluknya dari belakang. Taringnya yang tajam menancap begitu dalam di bahu Allysa. Anehnya, tidak ada darah yang mengalir dari lubang yang terkuak di bahunya.
            “Allysa!” panggilku. Allysa sama sekali tidak menghiraukanku.
            Aku menatap surat yang ada di tanganku, lalu membacanya. Awalnya aku bingung karena tahun yang tertera pada surat itu adalah 2010, yakni empat tahun yang lalu.
            To: Adam, my dearest love.
            Maafkan aku karena telah membohongimu dengan mengatakan bahwa aku tidak pernah berpacaran. Sejujurnya aku telah menjalin hubungan dengan banyak laki-laki. Aku juga telah banyak melakukan aborsi. Terakhir kali aku melakukan hubungan dengan Dokter Andrew, ayahmu. Aku mempunyai anak dari hasil perbuatannya. Selama ini dokter itulah yang selalu menangani kasus aborsiku. Dia selalu berkata bahwa dia mengubur janin-janin itu di sebuah tempat yang indah di kota Davao. Namun di tangan dia pula aku harus meregang nyawa hingga akhirnya meninggal.
            Aku tidak bisa menjawab pernyataan cintamu karena aku sudah mati, Adam. Aku menunggumu datang kembali ke sini karena aku ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu. Sekarang aku harus bertanggung jawab akan perbuatanku. Biarlah janin-janin di Eden Nature Park menghukumku seberat-beratnya karena mereka tidak kuizinkan lahir.
                                                                                                -Allysa Lauron-
            Air mata menetes di pipiku. Seketika aku teringat akan peristiwa di Eden Nature Park. Petugas tempat wisata itu hanya memberikanku satu tiket. Dia tidak lalai. Itu semua dikarenakan dia tidak melihat Allysa di sisiku! Mendadak tangisku pecah. Aku berniat membuka pintu kamar hotel untuk mengejar Allysa. Aku terkejut ketika aku tidak dapat menyentuh gagang pintunya. Tubuhku sepeti menembus gagang pintu tersebut. Aku mengamati telapak tanganku sendiri. Saat aku menoleh ke cermin, aku juga tidak dapat melihat diriku sendiri. Bersamaan dengan itu, aku kembali mendengar suara tangisan bayi. Tidak hanya satu bayi, melainkan belasan bayi. Lama-lama suara itu semakin keras memekakkan telinga.
            “Tidak! Aku tidak bersalah! Itu semua perbuatan ayahku bukan aku!” seruku.
            Namun bayi-bayi itu tidak peduli. Satu persatu mereka bermunculan di kamarku lalu membawaku pergi menembus pintu hotel. Mereka membawaku ke tempatku seharusnya berada. *** (Veronica. F)



[1] “Aku hamil.”
[2] “Yang benar saja?! Ya, ampun!”
[3] “Kau harus bertanggung jawab atau kau harus membantuku untuk melakukan aborsi!”
[4] “Kau yakin?”
[5] “Ya, aku belum ingin mempunyai bayi.”
[6] “Baiklah.”
Ket: Merupakan bahasa Tagalog, dengan dialek Visayan.


[7] Kata yang biasa diucapkan untuk menyambut seseorang. Bisa berarti selamat datang.
[8] Tagalog – English. Hampir semua penduduk di Filipina, termasuk di kota-kota besar menggunakan bahasa Tag-Lish.
[9] Terima kasih.
[10] Hati-hati di jalan/ Jaga diri.
[11] Sebutan untuk orang Filipina, baik laki-laki maupun perempuan.
[12] Monster
[13] Aku mencintaimu
[14] Tiyanak adalah sosok vampir dalam mitologi Filipina. Makhluk penghisap darah ini memiliki wujud menyerupai bayi baru lahir atau anak kecil. Dia merupakan perwujudan roh hasil aborsi yang kejam.




Invite my Path:
Veronica Faradilla

No comments:

Post a Comment