TIYANAK, CINTA
YANG TERKUBUR DI DAVAO CITY
Oleh:
Veronica Faradilla
Davao, Mindanao. Filipina, 2010.
Sudah
sejak sore rumah sakit yang terletak di Davao city itu terlihat dingin dan sepi. Pada sudut-sudut lorong hanya
terdapat beberapa orang suster yang hilir mudik. Sedangkan beberapa orang keluarga pasien duduk
terkantuk-kantuk di dalam ruang tunggu. Sayup-sayup suara televisi terdengar
dari ruang tunggu. Selebihnya,
sunyi. Keheningan memancar, membuat rumah sakit itu menebarkan aura suram dan
mati.
Hanya
ada satu ruangan yang terlihat ada kehidupan, yakni kamar
praktik dokter Andrew Hagorilez. Dokter
Andrew adalah seorang dokter kandungan yang sudah
berusia matang. Di dalam kamar praktik, seorang perempuan
muda sedang sibuk berbincang
dengan dokter Andrew. Wajah dua orang
itu menyiratkan ketegangan.
“Buntis ko,”[1]
ujar perempuan muda itu. Telapak tangan kanannya mengelus-elus perutnya yang
membuncit.
“Seryoso?
Ginoo ko!”[2]
seru dokter Andrew. Butir-butir
keringat membanjiri keningnya, lalu jatuh ke pakaian yang dikenakannya. Dokter
Andrew menatap perut sang perempuan dengan penuh kecemasan. Dia bingung apa
yang harus dia lakukan terhadap janin di dalam perut wanita simpanannya.
“Responsibilidad
ni nimo kundi tabangi ko mag pa abort!”[3]
Sang perempuan memberikan pilihan.
“Sigurado
ka?”[4]
Dokter Andrew menelusuri bola mata sang perempuan.
“Oo,
dli pako ganahan mahimon inahan,”[5]
sahut sang perempuan dengan tegas.
Dokter Andrew menghela nafas
dalam-dalam. Dia mengusap keringatnya. Lirih dia bergumam, “Sige.”[6]
Dengan gemetar Dokter Andrew
menidurkan kekasih gelapnya pada ranjang rumah sakit. Lalu malam lembab itu
menjadi saksi atas pembunuhan janin tak berdosa, yang bahkan belum bisa berkata
“tidak” ataupun berteriak untuk menolak.
***
Marcopolo Hotel, 2014.
Waktu menunjukkan pukul delapan
malam. Aku menjejakkan kaki di sebuah hotel sederhana yang terletak di Recto Street, Davao City. Aku memilih hotel ini karena letaknya cukup dekat dengan
bandara. Setelah selesai melakukan reservasi, aku segera masuk ke dalam kamar
untuk beristirahat sejenak. Aku membuka tirai jendela kamarku.
“Keren!”
seruku takjub.
Aku
beruntung, posisi kamarku cukup bagus. Dari sini aku dapat memandangi laut yang
sudah agak menggelap. Lampu-lampu yang berpijar dari bangunan di sekitarnya
membuat laut ini terlihat serupa karpet hitam dengan manik-manik putih pada
tepiannya. Malam cukup cerah. Cuacanya tidak terlalu panas ataupun terlalu
dingin. Semuanya sempurna sampai saat ini. Aku berharap liburanku di Filipina
tahun ini berjalan dengan lancar.
“Adam!”
panggil seseorang.
Aku
menoleh. Aku melihat Allysa Lauron, temanku yang berkebangsaan asli Filipina,
sedang berdiri di dekat pintu kamar. Wajahnya lumayan cantik dan agak
kebule-bulean. Wajar karena ada darah Spanyol yang mengalir di tubuhnya. Dialah
yang menjemputku dari Francisco Bangoy International Airport, lalu mengantarku sampai ke sini. Dia juga berjanji
akan menjadi guide-ku selama di sini.
“Mabuhay[7],
and enjoy your night at Davao!”
ujarnya dengan aksen bahasa Inggris yang lumayan enak didengar. Hal itu
dikarenakan Allysa sudah terbiasa berbicara dengan bahasa Inggris, atau
setidaknya dengan tag-lish[8].
Bersamaan dengan itu, Allysa
mengangguk lalu pergi meninggalkanku. Aku tahu besok pagi dia akan kembali
menjemputku. Sudah lima tahun aku mengenal Allysa. Perjumpaan pertama kami
bermula ketika aku tengah melakukan solo
travelling ke Intramuros, Manila. Saat itu dia juga tengah melakukan
perjalanan wisata bersama sekolahnya. Tanpa malu-malu dia menghampiriku, lalu
memintaku untuk memotretnya bersama teman-temannya. Jelas saja aku kebingungan
akan bahasa yang dia gunakan.
“Oh maaf, aku pikir kamu Filipino,”[11]
ujarnya, kali ini dengan menggunakan bahasa Inggris.
“Tidak apa-apa,” sahutku.
Aku
memotretnya. Dari lensa kamera aku mengagumi betapa cantiknya dia. Seragam
putih, dasi berbentuk pita, dan rok kotak-kotak membuatnya terlihat semakin
manis. Sejak saat itu, kami mulai berbincang dengan akrab. Sosoknya yang supel dan
ceria membuatku langsung jatuh cinta kepadanya. Hubungan kami dilanjutkan lewat
internet dan fasilitas chatting pada
android, hingga akhirnya aku bertemu dengannya kembali di pulau Mindanao,
tepatnya di kota ini. Jika mendengar kata Filipina, maka aku akan langsung
teringat kota ini dan gadis cantik yang tinggal di sini. Allysa begitu spesial,
menaburkan jejak yang begitu mendalam pada jiwaku.
“Tuhan, izinkan aku bisa menyatakan
cinta padanya dengan lancar,” gumamku. Aku memang ingin hubunganku dengan Allysa
lebih dari sekedar teman. Aku sudah bosan memendam mimpi-mimpi berpacaran
dengannya. Aku harus menjadikan mimpi itu sebagai kenyataan. Apalagi
sepengetahuanku dia belum pernah berpacaran. Jika aku berhasil menjadi
pacarnya, maka aku akan menjadi orang pertama yang menghuni hatinya.
***
“Adam!”
seru Allysa di depan pintu kamar hotelku.
Aku
yang masih terkantuk-kantuk segera beranjak dari tempat tidur, lalu membukakan
pintu untuk Allysa.
Allysa mengenakan topi, kaos lengan
panjang, jaket tebal, celana jeans, dan sepatu boot. Meskipun dia berpakaian seperti laki-laki, namun dia tetap
terlihat menarik, membuat mataku menjadi segar.
“Kita tidak punya banyak waktu!”
ujar Allysa saat aku datang membawakannya minum.
“Kenapa?” tanyaku, dengan raut wajah
bingung.
“Kita kan mau jalan-jalan,” tukas
Allysa.
“Iya, tapi ini kan masih terlalu
pagi. Aku juga belum mandi,” ujarku.
“Cepat siap-siap! Kita mau wisata ke
hutan!”
Aku melongo. Hutan? Aku tahu Allysa
memang suka jalan-jalan. Hal itu terlihat dari foto-foto yang biasa dia pajang
di media sosial. Namun sejak kapan gadis ini menyukai wisata ke hutan? Biasanya
Allysa lebih menyukai wisata ke pantai ataupun wisata kota.
“Bukannya perjalanan ke hutan
membutuhkan persiapan fisik yang matang?” tanyaku sembari berpikir keras
mengenai rencana penembakanku terhadap Allysa yang terancam gagal. Menurutku
hutan bukanlah tempat yang romantis untuk menembak seseorang.
“Aku kuat kok,” sahutnya. “Kamu
tidak usah khawatir ya. Aku tahu hutan yang bagus.”
Sebagai laki-laki yang ingin
membahagiakan wanita yang disukainya, akhirnya aku mengalah dan memilih untuk
menuruti keinginan Allysa. Kami berdua pergi wisata ke hutan dengan persiapan
dan bekal seadanya.
Setelah menempuh perjalanan yang
cukup panjang dengan menggunakan taksi, kami tiba juga di tempat yang dimaksud
oleh Allysa. Eden Nature Park. Tempat ini ternyata bukanlah hutan liar,
melainkan sebuah kawasan wisata yang menawarkan sensasi berpetualang di alam.
Tiket masuknya tidak terlalu mahal, hanya sekitar 180 peso. Aku mendapatkan snack berupa tuna sandwich dan minuman. Karena petugasnya lalai, aku hanya
membayar untuk satu tiket saja. Allysa menatapku lalu tertawa.
“Kamu sedang beruntung, Adam!” tukas
Allysa.
“Ya. Tapi kamu mengerjaiku. Aku
pikir kita akan pergi ke hutan yang belum terjamah,” tukasku sembari melirik
Allysa. “Aku pikir aku akan bertemu dengan harimau, ular, dan monyet-monyet
liar. Semua itu pasti menakutkan. Bagaimanapun, kamu adalah tanggung jawabku.
Aku harus menjagamu.”
Allysa menyahuti ucapanku dengan
tawa. Melihat tawanya yang ceria
membuat kekesalanku menguap begitu saja.
“Ayo masuk,” ajaknya. Tiba-tiba dia
menggandeng tanganku, membuatku terkejut dan menahan nafas. Detak jantungku
sudah tidak beraturan.
“Adam, kamu tidak apa-apa?” tanya Allysa.
“Eh… Ng… Iya a-aku tidak apa-apa,”
sahutku.
“Wajahmu terlihat aneh, seperti impakto[12].”
Tawa Allysa kembali berderai.
Aku tersenyum. Bersama Allysa aku
berjalan menyusuri keindahan alam di Eden Nature Park. Karena hari ini bukanlah
weekend, tempat wisata ini tidak
begitu ramai, malah cenderung sepi. Hampir tidak terlihat ada orang selain aku
dan Allysa. Allysa menggenggam tanganku semakin erat, menambah kepercayaan
diriku.
“Allysa, izinkan aku mengatakan
sesuatu kepadamu,” ujarku berusaha setenang mungkin.
Sementara itu Allysa menatapku
dengan sorot mata ingin tahu.
“Mahal
kita,”[13]
ujarku sembari memejamkan mata.
Allysa tertawa, “Belakangan ini
bahasa Tagalogmu semakin baik. Apa karena ayahmu adalah Filipino?”
Wajahku memerah. “Tolong seriuslah.”
Sejujurnya
aku tidak mau Allysa membuka percakapan mengenai Ayahku. Ya, dia memang seorang
laki-laki berkebangsaan Filipina. Namun dia adalah laki-laki yang sangat tidak
bertanggung jawab. Setelah menghamili ibuku, dia kembali ke negara asalnya,
lalu menghilang tanpa kabar. Beginilah aku yang tumbuh tanpa keberadaan seorang
Ayah.
Allysa terdiam. “Aku suka kamu,
tapi…”
Aku nyaris putus asa. Dari nada
suara Allysa, aku takut jawabannya adalah penolakan.
“Aku…” Ucapan Allysa terpotong
ketika kami berdua sama-sama mendengar suara seorang bayi yang sedang menangis.
“Bayi siapa itu?” tanyaku.
Allysa mengangkat bahu. Wajahnya
menyiratkan keheranan.
“Mungkin ada seorang ibu yang
kehilangan bayinya. Ayo kita cari!”
Allysa
segan, namun dia terpaksa mengikutiku. Aku
dan Allysa berjalan menyusuri hutan, mengikuti sumber suara. Betapa terkejutnya
kami ketika melihat sesosok bayi kecil telanjang, dengan tubuh yang masih
kemerah-merahan, tergeletak begitu saja di tanah, di antara akar pepohonan. Aku
menduga bayi itu baru saja dilahirkan. Tangan kecilnya menggapai-gapai udara.
Mulut kecilnya terbuka lebar menantang langit.
“Astaga, siapa ibu yang tega
membuangnya!” seruku kesal. Aku berniat menghampiri bayi tersebut, namun Allysa
mencengkram pergelangan tanganku. Aku menoleh, “Allysa, kita harus
menyelamatkan bayi itu dan memberitahu petugas tempat wisata ini. Kalau tidak
bayi itu akan mati!”
Allysa menggeleng. Aku melihat
ketakutan yang teramat dalam pada sorot matanya. “Jangan ke sana!”
“Kenapa?” tanyaku tak mengerti.
“Ternyata dia dikubur di sini. Itu tiyanak! Tiyanak[14]!”
Aku bertambah bingung. Aku kembali
menoleh ke arah bayi yang menangis semakin keras. Saat aku menoleh kembali ke
arah Allysa, aku terkejut ketika tidak menemukan sosok Allysa. Gadis itu
menghilang. Kepanikanku bertambah besar. Berulang-ulang aku memanggil namanya,
namun suaraku hanya disahuti oleh suara tangisan bayi. Allysa seperti lenyap
ditelan bumi.
Tanpa pikir panjang aku segera
menghampiri bayi itu lalu menggendongnya. Aku harus membawa bayi ini kepada
petugas tempat wisata, sekalian melaporkan hilangnya Allysa. Dengan langkah
yang kian cepat, aku berjibaku mencari jalan keluar. Tiba-tiba aku merasa bayi
di dalam gendonganku semakin berat. Aku menunduk untuk menatap bayi tersebut,
namun aku terkejut ketika melihat wujud bayi tersebut sudah berubah total.
Wajahnya yang mungil berubah menjadi penuh keriput dan menyeramkan. Matanya
yang seukuran koin logam menatapku tajam, seakan-akan hendak memakanku
bulat-bulat. Gigi-giginya yang runcing dia pamerkan, membuat tubuhku beku
ketakutan.
“Aaaaahhhh!!!!” jeritku panik.
Spontan saja aku melemparkan makhluk di tanganku itu. Namun makhluk itu
mencengkram tanganku dengan erat. Cakar-cakarnya yang tajam menusuk menembus
kulitku, menyobek dagingku, hingga darah mulai membanjiri tanganku.
“Tolooooong! Toloooooong!” Aku
berusaha melepaskan diri dari cengkraman makhluk di hadapanku ini. Cukup lama
aku bertahan dari amukan makhluk yang hendak menghisap darahku, lalu
membunuhku. Tetapi perlahan-lahan tenagaku mulai terkuras. Tubuhku melemas,
lalu pandanganku menjadi gelap. Aku sudah pasrah untuk mati.
***
Aku membuka mataku. Cahaya terang
menyilaukan mataku. Aku tersentak bangun dan melihat diriku sedang berada di
kamar hotel.
“Mimpi?” gumamku.
Saat aku menoleh, aku melihat
seorang gadis sedang duduk di bangku meja rias. Dia menghadap ke arahku.
“Allysa?” Aku buru-buru lompat dari
tempat tidurku dan menghampirinya. Aku mengamati Allysa yang terlihat lain.
Wajahnya yang biasa ceria kini murung dan pucat.
Allysa memberikanku sepucuk surat.
Setelah itu dia keluar dari kamar hotel. Aku terkejut ketika melihat ada tiyanak yang memeluknya dari belakang.
Taringnya yang tajam menancap begitu dalam di bahu Allysa. Anehnya, tidak ada
darah yang mengalir dari lubang yang terkuak di bahunya.
“Allysa!” panggilku. Allysa sama
sekali tidak menghiraukanku.
Aku menatap surat yang ada di
tanganku, lalu membacanya. Awalnya aku bingung karena tahun yang tertera pada
surat itu adalah 2010, yakni empat tahun yang lalu.
To:
Adam, my dearest love.
Maafkan
aku karena telah membohongimu dengan mengatakan bahwa aku tidak pernah
berpacaran. Sejujurnya aku telah menjalin hubungan dengan banyak laki-laki. Aku
juga telah banyak melakukan aborsi. Terakhir kali aku melakukan hubungan dengan
Dokter Andrew, ayahmu. Aku mempunyai anak dari hasil perbuatannya. Selama ini dokter
itulah yang selalu menangani kasus aborsiku. Dia selalu berkata bahwa dia
mengubur janin-janin itu di sebuah tempat yang indah di kota Davao. Namun di
tangan dia pula aku harus meregang nyawa hingga akhirnya meninggal.
Aku
tidak bisa menjawab pernyataan cintamu karena aku sudah mati, Adam. Aku menunggumu
datang kembali ke sini karena aku ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu.
Sekarang aku harus bertanggung jawab akan perbuatanku. Biarlah janin-janin di
Eden Nature Park menghukumku seberat-beratnya karena mereka tidak kuizinkan
lahir.
-Allysa
Lauron-
Air mata menetes di pipiku. Seketika
aku teringat akan peristiwa di Eden Nature Park. Petugas tempat wisata itu
hanya memberikanku satu tiket. Dia tidak lalai. Itu semua dikarenakan dia tidak
melihat Allysa di sisiku! Mendadak tangisku pecah. Aku berniat membuka pintu
kamar hotel untuk mengejar Allysa. Aku terkejut ketika aku tidak dapat
menyentuh gagang pintunya. Tubuhku sepeti menembus gagang pintu tersebut. Aku
mengamati telapak tanganku sendiri. Saat aku menoleh ke cermin, aku juga tidak
dapat melihat diriku sendiri. Bersamaan dengan itu, aku kembali mendengar suara
tangisan bayi. Tidak hanya satu bayi, melainkan belasan bayi. Lama-lama suara
itu semakin keras memekakkan telinga.
“Tidak! Aku tidak bersalah! Itu
semua perbuatan ayahku bukan aku!” seruku.
Namun bayi-bayi itu tidak peduli.
Satu persatu mereka bermunculan di kamarku lalu membawaku pergi menembus pintu
hotel. Mereka membawaku ke tempatku seharusnya
berada. *** (Veronica. F)
[8] Tagalog – English.
Hampir semua penduduk di Filipina, termasuk di kota-kota besar menggunakan
bahasa Tag-Lish.
[14] Tiyanak adalah sosok
vampir dalam mitologi Filipina. Makhluk penghisap darah ini memiliki wujud
menyerupai bayi baru lahir atau anak kecil. Dia merupakan perwujudan roh hasil
aborsi yang kejam.
Invite my Path:
Veronica Faradilla
No comments:
Post a Comment