Friday, September 12, 2014

GURAT KAYU IBU

NOTE: KISAH YANG DIIKUTSERTAKAN DALAM LOMBA EVERLASTING WOMAN "DIVAPRESS"

GURAT KAYU IBU
Oleh: Veronica Faradilla
“Ibu sudah cerai dengan ayahmu, Nak.” Ibu mengusap rambut hitamku penuh kasih. Bola matanya yang sebening surga, menyapu wajahku dengan tatapan sendu. Ada penyesalan, berpadu dengan kesedihan yang terbuncah di sana.
Aku hanya tertegun menatap Ibu tanpa tahu maksudnya. Ya, aku tidak mengerti karena pada saat itu aku masih berusia enam tahun. Tetapi aku dapat memahami bahwa “cerai” merupakan sebuah kata yang tidak menyenangkan untuk kupersilahkan masuk ke dalam telingaku.
Belakangan ini aku memang tidak pernah lagi melihat batang hidung Ayah muncul di daun pintu rumahku. Sosoknya lenyap sejak sebulan yang lalu. Terakhir kali aku melihatnya datang dengan wajah keras seperti batu. Tidak ada senyum yang terukir pada bibir tebalnya. Dia menatap marah ke arah Ibu. Ibu juga berlaku sama, menatap marah kepada Ayah. Lalu suara-suara tinggi mulai berhamburan dari rongga mulut mereka. Bersahut-sahutan seperti paduan suara yang salah nada. Aku tidak mengerti apa yang membuat mereka bersitegang seperti itu.
“Mulai sekarang Ibu yang akan merawatmu,” tukas Ibu. “Kita pasti mampu bertahan meski berdua saja.”
“Memangnya Ayah kemana?” tanyaku.
“Dia tidak akan pulang lagi ke rumah ini.”
“Kenapa?”
“Dia sudah bahagia dengan wanita simpanannya.”
Ah, wanita simpanan? Wanita berpoles make up itu? Wanita yang pernah menjajah ingatan masa laluku. Lalu obrolan kami disambut dengan hening panjang. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan dadaku sesak dan air mata tumpah di seragam sekolahku. Yang pasti aku tahu bahwa kehidupan keluargaku sudah berubah mulai hari ini.
“Sudahlah, Rose. Nggak usah menangis,” pinta Ibu.
Permintaan yang menyebalkan. Bagaimana mungkin aku tidak menangis ketika instingku mengatakan bahwa ada peristiwa menyedihkan yang sedang terjadi. Aku pun beranjak ke kamarku. Aku membaringkan tubuh lesuku di tempat tidur kayu. Pikiranku melayang ke peristiwa tahun lalu.
Bakery Baked. Bogor. 1990
Hujan mengguyur kota basah ini membuatnya semakin basah. Aku dan Ibu berdiri di seberang toko roti tua yang sudah melegenda. Aroma roti yang baru keluar dari oven berebutan menyeruak ke dalam rongga hidung kami. Beberapa orang berjalan hilir mudik di depan toko roti tersebut. Beberapa orang ada yang tergoda untuk masuk ke dalam toko roti. Sedangkan beberapa orang ada yang hanya menumpang berteduh dari hantaman hujan yang membasuh lapisan kulit mereka.
Sudah hampir dua puluh menit kami hanya berdiri, tanpa memindahkan langkah. Ibu terpaku. Aku juga ikut terpaku.
“Ngapain kita ke sini, Bu?” tanyaku sembari mendongak mencari wajah ibu di pekatnya gerimis.
Ibu menjawab pertanyaanku dengan desah lelah. Dia mengembangkan payung merahnya untuk melindungiku dari air hujan.
“Bu,” panggilku sekali lagi. Aku melihat Ibu menatap toko roti itu, berusaha menjelajah ke dalamnya melalui kaca bening. Spontan saja aku mengikuti arah tatapan Ibu.
“Itu Ayah!” seruku ketika melihat sekelebat sosok bertubuh tinggi dengan bahu yang tegap. Kulit sawo matangnya dibalut dengan kemeja lengan pendek bernuansa kotak-kotak berwarna hijau tua. Kemeja yang sering sekali Ayah pakai dalam setiap kesempatan. Kaki panjangnya dibalut oleh celana bahan berwarna hitam, membuat Ayah terlihat semakin gagah.
“Aku mau menyusul Ayah!” seruku bersemangat. Aku hendak berlari menyebrangi jalan, namun Ibu menahan pergelangan tanganku.
“Kenapa sih, Bu?” protesku. “Aku mau ketemu Ayah, mau minta dibeliin roti!”
“Nanti Ibu belikan,” ujar Ibu.
Di saat yang bersamaan, aku melihat Ayah keluar dari toko roti. Dia tidak sendiri. Seorang wanita berambut sepinggang dengan semi dress berwarna merah marun, menyusul di belakangnya. Polesan make up membalut sempurna di wajahnya. Pipi dan bibirnya merona, membuat sosoknya terlihat bersinar di tengah-tengah murungnya cuaca.
“Tunggu, Mas.” Setengah berlari wanita itu menghampiri ayahku, lalu menggamit lengannya mesra.
Ayah tersenyum hangat. Mereka berdua masuk ke dalam mobil Ayah. Sayup-sayup aku mendengar suara genit perempuan itu bersatu dengan tawa riang Ayah. Jarang sekali aku mendengar Ayah tertawa segembira itu.
“Ibu, perempuan itu kok gandeng-gandeng Ayah?” tanyaku bingung.
“Udah, biarin aja,” sahut Ibu sembari menarik tanganku. “Ayo kita pulang saja.”
“Nggak mau. Aku mau ketemu Ayah!” rengekku.
“Nggak usah!” hardik Ibu.
Aku menangis. Aku menghentak-hentakkan kaki dengan kesal. “Mana rotinya? Mana? Aku mau roti, Bu! Ibu janji mau beliin roti!”
Ibu melirikku kesal. Tak lama kemudian aku mendengar deru mobil Ayah melintas meninggalkan tempat itu, menyisakan sisa gas dari knalpot.
“Tuh kaaan, Ayah terlanjur pergi! Ibu siiih!” keluhku.
Akhirnya Ibu mengajakku ke toko roti tersebut, lalu memberikanku sepotong roti keju yang luar biasa lembut dan sekotak susu cokelat. Aku bahagia sekaligus sedih. Bahagia karena akhirnya Ibu membelikan roti untukku. Sedih karena Ibu terlalu pelit dan hanya membelikan satu potong roti, bukan dua atau tiga. Padahal aku tergiur melihat aneka rasa yang tersaji di sana, dan ingin mencicipi semuanya. Aku tidak menyadari bahwa akan ada sebuah peristiwa yang jauh lebih menyedihkan dari: “hanya dibelikan sepotong roti.”
***
Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun kulewati dengan tidak baik-baik saja. Kini aku sudah berusia 15 tahun. Aku tumbuh seiring dengan didikan keras Ibu. Ibu tidak mengizinkanku menjadi orang yang manja. Jika aku mengeluh sedikit saja tentang hidup, Ibu akan bertolak pinggang, lalu bertanya dengan nada keras, “Apa yang kamu dapatkan dari mengeluh? Apa semua masalahmu beres hanya dengan mengeluh?!”
Aku menggelengkan kepala pelan sekali. Kepalaku sepertinya terlalu rapuh untuk kugerakkan.
“Lakukan saja sesuatu yang dapat mengubah keadaanmu, jangan hanya pandai mengeluh dan menyalahkan orang lain!”
Setelah mengatakan hal itu, Ibu melanjutkan pekerjaannya dalam memasak makanan. Sejak dulu Ibu memang membuka usaha warung makan kecil-kecilan di teras rumah kami. Selain itu, Ibu juga melayani catering untuk rumah tangga. Ibu menyebarkan brosur berisi menu-menu catering  hari Senin hingga Minggu. Kadang Ibu juga menerima pesanan catering untuk pesta pernikahan kecil-kecilan. Memang keuntungannya tidak begitu besar, namun dari keuntungan usaha tersebut, Ibu mampu membiayai sekolahku serta memenuhi kebutuhan hidup kami sehari-hari.
“Bu, Ayah suka ngirim uang buat bantuin Ibu nggak?” tanyaku ketika aku tengah membantu Ibu mengupas bawang merah.
Ibu menggeleng.
“Ibu nggak minta?” kejarku.
Ibu kembali menggeleng, membuat rasda penasaranku semakin memuncak.
“Sudahlah, Rose. Nggak usah mengharapkan bantuan orang lain selama kita masih mampu memenuhi kebutuhan hidup kita sendiri.”
“Tapi kalo ada Ayah kan hidup kita jauh lebih makmur, Bu. Kita punya mobil, bisa makan di restoran setiap minggu, dan rekreasi ke tempat-tempat bagus!”
“Untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, terkadang memang harus ada yang dikorbankan.”
“Maksudnya?”
“Untuk memperoleh semua itu maka kamu harus mengorbankan waktu, pikiran, dan tenagamu. Belajarlah yang rajin dan bekerjalah yang giat. Suatu saat kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan, seperti punya mobil, makan di restoran setiap minggu, dan rekreasi kemanapun kamu mau. Bukannya itu jauh  lebih membanggakan?”
Aku menunduk. Kata-kata itulah yang selalu menancap di dalam benakku. Sesekali aku menyeka air mataku. Dengan menggunakan tissue. Mataku terasa pedas sekali. Kamuflase mengupas bawang. Aku yakin sebagian air mata itu adalah air mata kesedihan yang bermuara sejak lama di dalam hatiku.
Aku menilai Ibu sebagai wanita yang tegar dan mandiri. Meskipun keadaan ekonomi kami terpuruk sejak perceraian itu, tetapi Ibu tidak pernah menyerah. Dia bekerja dari pagi hingga malam. Ibu selalu sibuk. Setiap subuh dia tidak beranjak dari teras rumah, asyik membersihkan meja untuk tempatnya berjualan. Kemudian Ibu mulai mengolah aneka masakan untuk dijual. Nasi, ayam goreng, gulai tahu, telur cabai, tempe orek, dan aneka gorengan satu persatu mulai tersaji.
Seperti pada pagi yang basah itu di hari Minggu. Ibu tetap sibuk memasak, meskipun kami sudah tahu jika hujan menderas seperti ini, banyak tetangga-tetangga kami yang malas keluar rumah. Hal ini berimbas kepada tidak lakunya dagangan Ibu.
“Rose, makaaan!” panggil Ibu seperti hari-hari sebelumnya.
Semuanya sudah menjelma menjadi sebuah rutinitas. Aku selalu diperintahkan untuk sarapan sebelum Ibu mulai berjualan. Aku pun berjalan ke teras rumah. Ibu menyodorkan piring kaca. Di sanalah aku melihat keriput memenuhi tangan tersebut. Bergaris-garis seperti gurat-gurat pada kayu.
Spontan saja aku mengangkat wajahku, lalu menatap Ibu. Aku meneliti setiap senti wajahnya. Dahi, mata, hidung, bibir, dan dagu. Semuanya memiliki kerut-kerut yang mulai terlihat jelas. Sejujurnya aku lumayan terkejut. Satu tahun yang lalu dia tidak terlihat setua ini. Semua kemudaan Ibu tergilas dan teraniaya oleh waktu.
“Ibu istirahat aja deh hari ini! Gak usah masak banyak-banyak. Toh malah akan mubazir. Ibu kan tahu sendiri bahwa orang-orang di sini tidak ada yang suka berbasah-basahan untuk sekedar membeli sarapan.”
“Bicara apa sih kamu ini? Rezeki itu bisa datang dari mana saja, Asal kita tetap berusaha sebaik-baiknya, lalu berpengharapan baik kepada Tuhan. Itu kuncinya.”
“Tapi lihat aja minggu lalu dan minggu lalunya lagi. Udah dua minggu berturut-turut dagangan Ibu masih tersisa banyak! Kan sayang, Bu!” bantahku keras kepala.
“Itu artinya minggu lalu rezeki kita hanya segitu. Nggak ada salahnya untuk terus mencoba,” sahut Ibu.
Jika Ibu sudah berbicara seperti itu, maka aku tidak mau membantah. Aku merenung. Sebuah mobil yang berhenti di depan warung makan Ibu, melumat lamunanku hingga aku kembali kepada kenyataan.
“Permisi, Bu,” sapa pemilik mobil, yakni seorang wanita muda berusia sekitar 30-an.
“Ya, ada apa ya?” tanya Ibu ramah.
“Rumah Pak Sarjo di sebelah mana ya? Saya sudah lama tidak ke sini, jadi saya agak lupa. Kondisi desa sudah banyak berubah.”
Dengan tetap ramah, Ibu menunjukkan jalan menuju rumah Pak Sarjo.
“Terima kasih ya. Ngomong-ngomong boleh nggak saya beli semua makanan yang Ibu jual?”
Ibu dan aku melongo mendengar ucapan wanita itu.
“Soalnya saya sekalian mau ke rumah mertua saya. Ada acara kumpul keluarga besar di sana. Hanya saja saya tidak sempat memasak. Sedangkan untuk datang dengan tangan kosong, saya tidak enak. Sejak tadi saya mencari warung makan tapi belum ada yang buka. Mungkin juga pengaruh hujan.”
Ibu dan aku saling berpandangan.
“Gimana Bu? Bisa saya beli semua makanannya?” tanya wanita itu memecah lamunan kami.
“Boleh, boleh,” sahut Ibu. Dia segera membungkus seluruh makanan yang ada di etalase, tidak membiarkan dirinya terus melongo seperti itu.
Setelah selesai melayani dan mengantarkan kepergian wanita bermobil itu, Ibu memandangku.
“Inilah hasilnya jika kita terus berusaha, berdoa, dan berpengharapan baik. Jangan pernah menyalahkan keadaan. Yang penting kamu harus terus berjuang.”
Aku mengerti sekarang. Gurat-gurat kayu pada kulit Ibu tidaklah sia-sia.
***
Aku mematung memandang nisan Ibu. Sudah dua puluh tahun berlalu sejak peristiwa itu. Ibu sudah pergi bersama gurat-gurat kayunya. Gurat yang selalu mengingatkanku akan perjuangan dan pengorbanan seorang Ibu dalam melindungi dan menghidupi anaknya. Kini wanita yang paling kuhormati itu telah terbujur bersama serpihan tanah merah. Ada rasa penyesalan karena aku belum mampu membahagiakan Ibu.
Aku hanya sempat membelikan Ibu sebungkus sate ayam, dan sekotak es krim sebagai rasa syukur atas gaji pertama yang kuterima setelah sebulan berjibaku di perusahaan elektronik. Tak lama setelah itu Ibu meninggal karena sakit. Mungkin Ibu belum sempat melihatku menggapai cita-cita, namun Ibu telah menanamkan bibit kesuksesan itu.
“Ibu, terima kasih atas didikanmu,” gumamku, menyampaikan pesan kepada angin yang menyapaku sore itu.
Aku melangkahkan kaki meninggalkan makam Ibu yang masih basah. Tapakku sedikit berat, namun aku yakin aku dapat melewati semuanya dengan baik-baik saja. Karena Ibu tidak pergi kemana-mana. Dia bersemayam di dalam hatiku.


Invite my Path:
Veronica Faradilla
















No comments:

Post a Comment