GURAT
KAYU IBU
Oleh:
Veronica Faradilla
“Ibu sudah cerai dengan
ayahmu, Nak.” Ibu mengusap rambut hitamku penuh kasih. Bola matanya yang
sebening surga, menyapu wajahku dengan tatapan sendu. Ada penyesalan, berpadu
dengan kesedihan yang terbuncah di sana.
Aku hanya tertegun
menatap Ibu tanpa tahu maksudnya. Ya, aku tidak mengerti karena pada saat itu
aku masih berusia enam tahun. Tetapi aku dapat memahami bahwa “cerai” merupakan
sebuah kata yang tidak menyenangkan untuk kupersilahkan masuk ke dalam telingaku.
Belakangan ini aku
memang tidak pernah lagi melihat batang hidung Ayah muncul di daun pintu
rumahku. Sosoknya lenyap sejak sebulan yang lalu. Terakhir kali aku melihatnya
datang dengan wajah keras seperti batu. Tidak ada senyum yang terukir pada
bibir tebalnya. Dia menatap marah ke arah Ibu. Ibu juga berlaku sama, menatap
marah kepada Ayah. Lalu suara-suara tinggi mulai berhamburan dari rongga mulut
mereka. Bersahut-sahutan seperti paduan suara yang salah nada. Aku tidak
mengerti apa yang membuat mereka bersitegang seperti itu.
“Mulai sekarang Ibu
yang akan merawatmu,” tukas Ibu. “Kita pasti mampu bertahan meski berdua saja.”
“Memangnya Ayah
kemana?” tanyaku.
“Dia tidak akan pulang
lagi ke rumah ini.”
“Kenapa?”
“Dia sudah bahagia
dengan wanita simpanannya.”
Ah, wanita simpanan?
Wanita berpoles make up itu? Wanita
yang pernah menjajah ingatan masa laluku. Lalu obrolan kami disambut dengan
hening panjang. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan dadaku sesak dan air mata
tumpah di seragam sekolahku. Yang pasti aku tahu bahwa kehidupan keluargaku
sudah berubah mulai hari ini.
“Sudahlah, Rose. Nggak
usah menangis,” pinta Ibu.
Permintaan yang
menyebalkan. Bagaimana mungkin aku tidak menangis ketika instingku mengatakan
bahwa ada peristiwa menyedihkan yang sedang terjadi. Aku pun beranjak ke
kamarku. Aku membaringkan tubuh lesuku di tempat tidur kayu. Pikiranku melayang
ke peristiwa tahun lalu.
Bakery
Baked. Bogor. 1990
Hujan mengguyur kota
basah ini membuatnya semakin basah. Aku dan Ibu berdiri di seberang toko roti tua
yang sudah melegenda. Aroma roti yang baru keluar dari oven berebutan menyeruak
ke dalam rongga hidung kami. Beberapa orang berjalan hilir mudik di depan toko
roti tersebut. Beberapa orang ada yang tergoda untuk masuk ke dalam toko roti.
Sedangkan beberapa orang ada yang hanya menumpang berteduh dari hantaman hujan
yang membasuh lapisan kulit mereka.
Sudah hampir dua puluh
menit kami hanya berdiri, tanpa memindahkan langkah. Ibu terpaku. Aku juga ikut
terpaku.
“Ngapain kita ke sini,
Bu?” tanyaku sembari mendongak mencari wajah ibu di pekatnya gerimis.
Ibu menjawab
pertanyaanku dengan desah lelah. Dia mengembangkan payung merahnya untuk
melindungiku dari air hujan.
“Bu,” panggilku sekali
lagi. Aku melihat Ibu menatap toko roti itu, berusaha menjelajah ke dalamnya
melalui kaca bening. Spontan saja aku mengikuti arah tatapan Ibu.
“Itu Ayah!” seruku
ketika melihat sekelebat sosok bertubuh tinggi dengan bahu yang tegap. Kulit
sawo matangnya dibalut dengan kemeja lengan pendek bernuansa kotak-kotak
berwarna hijau tua. Kemeja yang sering sekali Ayah pakai dalam setiap
kesempatan. Kaki panjangnya dibalut oleh celana bahan berwarna hitam, membuat
Ayah terlihat semakin gagah.
“Aku mau menyusul
Ayah!” seruku bersemangat. Aku hendak berlari menyebrangi jalan, namun Ibu
menahan pergelangan tanganku.
“Kenapa sih, Bu?”
protesku. “Aku mau ketemu Ayah, mau minta dibeliin roti!”
“Nanti Ibu belikan,”
ujar Ibu.
Di saat yang bersamaan,
aku melihat Ayah keluar dari toko roti. Dia tidak sendiri. Seorang wanita
berambut sepinggang dengan semi dress
berwarna merah marun, menyusul di belakangnya. Polesan make up membalut sempurna di wajahnya. Pipi dan bibirnya merona,
membuat sosoknya terlihat bersinar di tengah-tengah murungnya cuaca.
“Tunggu, Mas.” Setengah
berlari wanita itu menghampiri ayahku, lalu menggamit lengannya mesra.
Ayah tersenyum hangat.
Mereka berdua masuk ke dalam mobil Ayah. Sayup-sayup aku mendengar suara genit
perempuan itu bersatu dengan tawa riang Ayah. Jarang sekali aku mendengar Ayah
tertawa segembira itu.
“Ibu, perempuan itu kok
gandeng-gandeng Ayah?” tanyaku bingung.
“Udah, biarin aja,”
sahut Ibu sembari menarik tanganku. “Ayo kita pulang saja.”
“Nggak mau. Aku mau
ketemu Ayah!” rengekku.
“Nggak usah!” hardik
Ibu.
Aku menangis. Aku
menghentak-hentakkan kaki dengan kesal. “Mana rotinya? Mana? Aku mau roti, Bu!
Ibu janji mau beliin roti!”
Ibu melirikku kesal.
Tak lama kemudian aku mendengar deru mobil Ayah melintas meninggalkan tempat
itu, menyisakan sisa gas dari knalpot.
“Tuh kaaan, Ayah
terlanjur pergi! Ibu siiih!” keluhku.
Akhirnya Ibu mengajakku
ke toko roti tersebut, lalu memberikanku sepotong roti keju yang luar biasa
lembut dan sekotak susu cokelat. Aku bahagia sekaligus sedih. Bahagia karena
akhirnya Ibu membelikan roti untukku. Sedih karena Ibu terlalu pelit dan hanya
membelikan satu potong roti, bukan dua atau tiga. Padahal aku tergiur melihat
aneka rasa yang tersaji di sana, dan ingin mencicipi semuanya. Aku tidak
menyadari bahwa akan ada sebuah peristiwa yang jauh lebih menyedihkan dari: “hanya
dibelikan sepotong roti.”
***
Hari demi hari, bulan
demi bulan, dan tahun demi tahun kulewati dengan tidak baik-baik saja. Kini aku
sudah berusia 15 tahun. Aku tumbuh seiring dengan didikan keras Ibu. Ibu tidak
mengizinkanku menjadi orang yang manja. Jika aku mengeluh sedikit saja tentang
hidup, Ibu akan bertolak pinggang, lalu bertanya dengan nada keras, “Apa yang
kamu dapatkan dari mengeluh? Apa semua masalahmu beres hanya dengan mengeluh?!”
Aku menggelengkan
kepala pelan sekali. Kepalaku sepertinya terlalu rapuh untuk kugerakkan.
“Lakukan saja sesuatu
yang dapat mengubah keadaanmu, jangan hanya pandai mengeluh dan menyalahkan
orang lain!”
Setelah mengatakan hal
itu, Ibu melanjutkan pekerjaannya dalam memasak makanan. Sejak dulu Ibu memang
membuka usaha warung makan kecil-kecilan di teras rumah kami. Selain itu, Ibu
juga melayani catering untuk rumah
tangga. Ibu menyebarkan brosur berisi menu-menu catering hari Senin hingga
Minggu. Kadang Ibu juga menerima pesanan catering
untuk pesta pernikahan kecil-kecilan. Memang keuntungannya tidak begitu besar,
namun dari keuntungan usaha tersebut, Ibu mampu membiayai sekolahku serta
memenuhi kebutuhan hidup kami sehari-hari.
“Bu, Ayah suka ngirim
uang buat bantuin Ibu nggak?” tanyaku ketika aku tengah membantu Ibu mengupas bawang
merah.
Ibu menggeleng.
“Ibu nggak minta?”
kejarku.
Ibu kembali menggeleng,
membuat rasda penasaranku semakin memuncak.
“Sudahlah, Rose. Nggak
usah mengharapkan bantuan orang lain selama kita masih mampu memenuhi kebutuhan
hidup kita sendiri.”
“Tapi kalo ada Ayah kan
hidup kita jauh lebih makmur, Bu. Kita punya mobil, bisa makan di restoran
setiap minggu, dan rekreasi ke tempat-tempat bagus!”
“Untuk mendapatkan
sesuatu yang kita inginkan, terkadang memang harus ada yang dikorbankan.”
“Maksudnya?”
“Untuk memperoleh semua
itu maka kamu harus mengorbankan waktu, pikiran, dan tenagamu. Belajarlah yang
rajin dan bekerjalah yang giat. Suatu saat kamu akan mendapatkan apa yang kamu
inginkan, seperti punya mobil, makan di restoran setiap minggu, dan rekreasi kemanapun
kamu mau. Bukannya itu jauh lebih
membanggakan?”
Aku menunduk. Kata-kata
itulah yang selalu menancap di dalam benakku. Sesekali aku menyeka air mataku.
Dengan menggunakan tissue. Mataku terasa pedas sekali. Kamuflase mengupas
bawang. Aku yakin sebagian air mata itu adalah air mata kesedihan yang bermuara
sejak lama di dalam hatiku.
Aku menilai Ibu sebagai
wanita yang tegar dan mandiri. Meskipun keadaan ekonomi kami terpuruk sejak
perceraian itu, tetapi Ibu tidak pernah menyerah. Dia bekerja dari pagi hingga
malam. Ibu selalu sibuk. Setiap subuh dia tidak beranjak dari teras rumah,
asyik membersihkan meja untuk tempatnya berjualan. Kemudian Ibu mulai mengolah
aneka masakan untuk dijual. Nasi, ayam goreng, gulai tahu, telur cabai, tempe
orek, dan aneka gorengan satu persatu mulai tersaji.
Seperti pada pagi yang
basah itu di hari Minggu. Ibu tetap sibuk memasak, meskipun kami sudah tahu
jika hujan menderas seperti ini, banyak tetangga-tetangga kami yang malas
keluar rumah. Hal ini berimbas kepada tidak lakunya dagangan Ibu.
“Rose, makaaan!”
panggil Ibu seperti hari-hari sebelumnya.
Semuanya sudah menjelma
menjadi sebuah rutinitas. Aku selalu diperintahkan untuk sarapan sebelum Ibu
mulai berjualan. Aku pun berjalan ke teras rumah. Ibu menyodorkan piring kaca.
Di sanalah aku melihat keriput memenuhi tangan tersebut. Bergaris-garis seperti
gurat-gurat pada kayu.
Spontan saja aku
mengangkat wajahku, lalu menatap Ibu. Aku meneliti setiap senti wajahnya. Dahi,
mata, hidung, bibir, dan dagu. Semuanya memiliki kerut-kerut yang mulai
terlihat jelas. Sejujurnya aku lumayan terkejut. Satu tahun yang lalu dia tidak
terlihat setua ini. Semua kemudaan Ibu tergilas dan teraniaya oleh waktu.
“Ibu istirahat aja deh
hari ini! Gak usah masak banyak-banyak. Toh malah akan mubazir. Ibu kan tahu
sendiri bahwa orang-orang di sini tidak ada yang suka berbasah-basahan untuk
sekedar membeli sarapan.”
“Bicara apa sih kamu
ini? Rezeki itu bisa datang dari mana saja, Asal kita tetap berusaha
sebaik-baiknya, lalu berpengharapan baik kepada Tuhan. Itu kuncinya.”
“Tapi lihat aja minggu
lalu dan minggu lalunya lagi. Udah dua minggu berturut-turut dagangan Ibu masih
tersisa banyak! Kan sayang, Bu!” bantahku keras kepala.
“Itu artinya minggu
lalu rezeki kita hanya segitu. Nggak ada salahnya untuk terus mencoba,” sahut
Ibu.
Jika Ibu sudah
berbicara seperti itu, maka aku tidak mau membantah. Aku merenung. Sebuah mobil yang berhenti di depan warung makan Ibu,
melumat lamunanku hingga aku kembali kepada kenyataan.
“Permisi, Bu,” sapa
pemilik mobil, yakni seorang wanita muda berusia sekitar 30-an.
“Ya, ada apa ya?” tanya
Ibu ramah.
“Rumah Pak Sarjo di
sebelah mana ya? Saya sudah lama tidak ke sini, jadi saya agak lupa. Kondisi
desa sudah banyak berubah.”
Dengan tetap ramah, Ibu
menunjukkan jalan menuju rumah Pak Sarjo.
“Terima kasih ya.
Ngomong-ngomong boleh nggak saya beli semua makanan yang Ibu jual?”
Ibu dan aku melongo
mendengar ucapan wanita itu.
“Soalnya saya sekalian
mau ke rumah mertua saya. Ada acara kumpul keluarga besar di sana. Hanya saja
saya tidak sempat memasak. Sedangkan untuk datang dengan tangan kosong, saya
tidak enak. Sejak tadi saya mencari warung makan tapi belum ada yang buka.
Mungkin juga pengaruh hujan.”
Ibu dan aku saling
berpandangan.
“Gimana Bu? Bisa saya
beli semua makanannya?” tanya wanita itu memecah lamunan kami.
“Boleh, boleh,” sahut
Ibu. Dia segera membungkus seluruh makanan yang ada di etalase, tidak
membiarkan dirinya terus melongo seperti itu.
Setelah selesai
melayani dan mengantarkan kepergian wanita bermobil itu, Ibu memandangku.
“Inilah hasilnya jika
kita terus berusaha, berdoa, dan berpengharapan baik. Jangan pernah menyalahkan
keadaan. Yang penting kamu harus terus berjuang.”
Aku mengerti sekarang.
Gurat-gurat kayu pada kulit Ibu tidaklah sia-sia.
***
Aku mematung memandang
nisan Ibu. Sudah dua puluh tahun berlalu sejak peristiwa itu. Ibu sudah pergi
bersama gurat-gurat kayunya. Gurat yang selalu mengingatkanku akan perjuangan
dan pengorbanan seorang Ibu dalam melindungi dan menghidupi anaknya. Kini
wanita yang paling kuhormati itu telah terbujur bersama serpihan tanah merah. Ada rasa penyesalan karena aku belum
mampu membahagiakan Ibu.
Aku
hanya sempat membelikan Ibu sebungkus sate ayam, dan sekotak es krim sebagai
rasa syukur atas gaji pertama yang kuterima setelah sebulan berjibaku di
perusahaan elektronik. Tak lama setelah itu Ibu meninggal karena sakit. Mungkin
Ibu belum sempat melihatku menggapai cita-cita, namun Ibu telah menanamkan
bibit kesuksesan itu.
“Ibu,
terima kasih atas didikanmu,” gumamku, menyampaikan pesan kepada angin yang
menyapaku sore itu.
Aku
melangkahkan kaki meninggalkan makam Ibu yang masih basah. Tapakku sedikit
berat, namun aku yakin aku dapat melewati semuanya dengan baik-baik saja.
Karena Ibu tidak pergi kemana-mana. Dia bersemayam di dalam hatiku.
Invite my Path:
Veronica Faradilla
No comments:
Post a Comment