PEMIMPI
SUBUH
Oleh: Veronica Faradilla
“Wanita
berkimono itu mati di tengah kota yang kita sebut kota metropolitan!” seru Ayah
dengan nada menghakimi ketika dia membuka surat kabar pagi.
Aku yang baru terbangun dari tidur segera
merebut koran di tangan Ayah. Entah apa yang ada di pikiranku kala itu, tetapi
aku mengkhawatirkan sesuatu. Khawatir mengenai mimpi-mimpi yang selalu
mengganggu tidurku belakangan ini. Bayangan-bayangan puluhan orang yang
mengacungkan parang masih menghuni seluruh otakku. Lidah api yang menari-nari
di tengah subuh sibuk menjilati setiap sentimeter dinding lalu melahapnya
habis. Gerimis belum mampu membunuh si jago merah. Di sana ratapan dan tangis
pemilik rumah adalah sebuah berita basi. Kini tergantikan dengan sebuah headline surat kabar yang menyatakan
bahwa wanita berkimono mati dilindas truk barang.
Seperti hikayat
malaikat yang selalu mendoakan yang baik, begitu pun aku. Aku tak biasa berdoa.
Aku ingin yang baik-baik saja yang terjadi padanya. Pernah kuutarakan bahwa aku ingin berangkat memperjuangkan nasib
ke negeri seberang, negeri Jepang. Ayah begitu melecehkan mimpiku. Mungkin
karena dia menyimpan trauma karena masa penjajahan. Romusha. Tetapi sudahlah, mengungkit hal itu akan membuatku
terlihat rasis. Tak ada yang kubela dalam permasalahan ini. Rasa nasionalismeku
pun belum mati.
Sementara
itu dari balik kaca jendela dapur, mataku nanar menatap langit yang mendung.
Awan hitam seperti menggelayut di ujung kota tempat kelahiranku, tersembunyi di
balik gedung-gedung pencakat langit. Bulan – bulan yang bersisian dengan bulan
November adalah bulan kelabu. Di mana banyak tangis yang pecah dan bercampur
dengan air hujan.
Tepat setahun yang lalu di bengkel itu aku
berkenalan dengan seorang wanita yang kukenal bernama Keiko. Dia terlihat lusuh
dengan baju abu-abu kedodoran yang menempel di tubuhnya. Baju itu tak bersih, melainkan penuh bercak oli. Itulah
resiko kerja di bengkel. Padahal dia cantik sekali. Kulitnya putih bersih,
dengan mata sipit khas orang Jepang. Ya, memang dia orang Jepang asli, yang
numpang hidup di kotaku, kota Jakarta. Ternyata Jakarta mempunyai magnet yang
besar. Yang menarik setiap orang untuk mencari nafkah di sini. Bukan hanya
penduduk pulau lain, bahkan dari negeri lain.
“Sudah
lama kau menunggu di sini?” tanyaku kepada Keiko.
Keiko
memiringkan kepalanya lalu tersenyum. Keiko terlihat cantik hari ini, dengan
kaus bunga-bunga berwarna biru. Berbeda denganku yang hanya mengenakan kaus
oblong putih berlapis jaket khas preman. Untunglah, wajahku tak mendukung untuk
jadi preman. Kata ayahku wajahku ini baby
face.
“Cakep
lah kau!” Ucapan ayah terngiang-ngiang membuatku tersenyum, Tentu saja ayahku
memuji anaknya sendiri. Kalau anaknya cakep, ya sudah tentu karena
keturunannya. Itu artinya ayahnya juga cakep. Suatu kesimpulan yang ngalor
ngidul, sontoloyo, pikirku dengan senyum terkembang.
Lalu
pikiranku kembali kepada Keiko.
“Apakah
aku seperti preman?” tanyaku kepada gadisku itu.
“Ya,”
ujar Keiko. Aku dan dia tertawa bersama.
Sebenarnya Keiko tak terlalu fasih mengucapkan
bahasa Indonesia, namun aku dengan setia mengajarkannya. Begitu pun sebaliknya.
Lalu cinta tumbuh di hatiku, membuat peristiwa berkembang menjadi seperti ini.
Aku kencan dengannya, duduk berdua dengannya di kursi taman.
Aku
seperti anak ingusan yang baru belajar pacaran. Bahkan tak kutawari Keiko untuk
makan siang denganku, atau apapun itu yang biasa dilakukan oleh orang-orang
yang berpacaran. Aku terlalu gugup. Aku melupakan usiaku sesungguhnya yang
sebenarnya sudah 34 tahun.
“Mau
ma..kan? kamu mau makan? Tabetai…mau
makan,” ujar Keiko terbata-bata.
Aku
tersenyum. Gaya bicaranya seperti robot. Aku berdiri lalu menggandeng tangan
Keiko, menuju sebuah restoran Jepang. Aku ingin membuatnya merasa betah,
seperti di negerinya sendiri. Mungkin saja masakan Jepang yang dimasak oleh
koki Indonesia ini dapat memuaskan rasa kangen di lidah Keiko.
Keiko
memakan dengan lahap sushi yang terhidang di hadapannya. Sebentar-sebentar aku
berusaha melirik isi dompetku. Sushi memang mahal dan tak mengenyangkan. Jadi
tak mungkin hanya pesan satu porsi. Keiko saja sudah menghabiskan tiga piring,
sedangkan aku baru dua buah.
“Enak?”
tanyaku ragu-ragu.
Keiko
mengacungkan ibu jarinya kepadaku sembari tersenyum manis. Hatiku menjadi
deg-degan. Aku mencintainya. Kelak aku akan melamarnya, dan tentu saja aku akan
memperjuangkannya mati-matian.
***
Aku
tertegun melihat rumah Keiko di daerah Jakarta Selatan ludes dilalap api. Kata
penduduk sekitar, rumah ini habis jadi korban rasis. Satu kelompok tertentu
datang dengan parang dan celurit yang diacungkan tinggi-tinggi. Padahal dua
hari yang lalu Keiko baru saja memberiku senyuman manis sembari mengacungkan
ibu jari. Kini malah dia dan keluarganya diacungi celurit.
Kemudian tetangga Keiko mengatakan bahwa
seorang laki-laki yang merupakan pemimpin dari kelompok itu langsung menuangkan
bensin, lalu melemparkan korek api sehingga rumah Keiko langsung terbakar.
Tanpa
sadar air mataku tumpah. Aku dapat membayangkan kejadian itu. Pastilah suasana subuh
itu begitu mencekam. Aku dapat membayangkan wajah gadisku panik sambil menangis
minta tolong. Namun tak ada yang berani menolongnya.
Saat mengedarkan
pandangan, aku melihat sebuah bendera Jepang setengah terbakar sedang
berkibar-kibar dipermainkan angin. Sayup-sayup aku dengar beberapa penduduk
berteriak-teriak.
“Ini
Indonesia, bung! Merdeka!” seru mereka serentak tanpa dikomando.
Aku
jatuh berlutut. Ya, ini Indonesia. Tapi Keiko tidak bermaksud untuk menjajah,
apalagi membuka luka masa lalu. Dia ke sini untuk mencari nafkah, bekerja
dengan halal, dan berusaha berbaur.
Sejak
hari itu aku kehilangan jejak Keiko sama sekali. Aku mencari di setiap sudut
kota. Aku merasa harus meminta maaf, meskipun aku tidak ikut membakar rumahnya.
Namun aku merasa wajib untuk ikut meminta maaf karena tak dapat melindunginya.
Setahun
aku berkelana tanpa hasil. Aku mengambil kesimpulan bahwa Keiko telah kembali
pulang ke negara asalnya, bersama keluarganya. Meskipun tak pasti, tapi aku
harus memastikannya. Bukankah manusia hidup untuk selalu memastikan? Memastikan
bahwa dia mempunyai tujuan hidup? Keiko adalah tujuan hidupku.
“Bodoh
sekali lah kau! Keiko itu sudah mati. Tidak kau lihat koran itu rupanya? Apa
terlalu budek telingamu?” tanya ayahku.
Aku memejamkan mata,
menahan segala amarah yang selama ini subur kupendam. Mati katanya? Aku tak mau
mempercayai berita di koran. Keiko tak mungkin meninggal. Bukankah banyak
wanita-wanita berkimono di Indonesia? Orang Indonesia kadang juga mengenakan
kimono, selain batik, atau pakaian adat. Itu bukan Keiko yang terlindas truk di
tengah jalan raya. Lagipula untuk apa dia memakai kimono lalu jalan-jalan di
tengah kota? Mau memancing rasisme lagi? Mau memancing bakar-bakaran lagi? Atau
mau dianggap gendeng, tidak waras?
Begitu inginkah ayahku
mendengar Keiko telah meninggal? Padahal Keiko tak pernah melakukan apapun yang
merugikan ayahku. Berkenalan pun juga belum pernah.
“Sudahlah,
kau cari gadis-gadis di kota ini saja! Tak usah sok berlabel luar negeri kau!
Tak pantas tampangmu itu” ujar ayahku.
Aku
tak peduli. Aku laki-laki. Aku memang harus mandiri, dan menentukan jalan
hidupku sendiri tanpa campur tangan siapa pun, termasuk ayahku. Durhakakah aku?
Namun aku tetap mengepak barang-barangku dalam sebuah koper besar. Sudah
kukumpulkan seluruh uang tabunganku, dan sebagian telah kutukar menjadi Yen,
mata uang Jepang. Semuanya telah kusiapkan tinggal berangkat saja. Awalnya aku
tak tahu kemana harus pergi. Jepang sangatlah luas, bukan sebesar daun kelor.
Tetapi aku mengikuti instingku saja. Aku akan terbang ke Tokyo.
Subuh
itu aku pun berpamitan pada ayahku, siap menjemput mimpiku, meski aku tak tahu
dimana sebenarnya gadisku itu. Ayahku hanya dapat menarik nafas pasrah, “Kalau
kau jadi gembel di sana lebih baik kau pulang saja. Tak usahlah kau paksakan dirimu
itu. Masih banyak wanita. Jangan membuat dirimu sendiri menderita atas sebuah
cinta monyet.”
Aku
mengangguk, namun dalam hati aku yakin ini bukan cinta monyet, cinta kera,
ataupun cinta lutung. Ini adalah cinta manusia dewasa. Aku berlalu dengan naik
taksi. Aku harus mengejar pesawatku pukul setengah delapan pagi. Siang hari
setelah keberangkatanku, sebuah surat berstempel Jepang tiba di rumahku. Dengan
penasaran ayahku membuka surat tersebut.
“Ardana,
aku di Tokyo. Aitai…. I will give you my address. I miss you and
want to meet you so bad. I hope someday you will come to Japan. Do you have girlfriend there? I hope not.
Because i’m still your girlfriend, right? Ha…ha…ha.”
Anata no Keiko.
Ayahku
meletakkan surat itu di sampingnya. Air mata jatuh ke pipinya. Dia seakan baru
tersadar bahwa kedua muda-mudi ini saling mencintai. Keiko bahkan tak menaruh
dendam padahal rumahnya telah dibakar oleh massa. Aku belum melupakannya. Dia
tetap setia menantiku, yang berlabel orang Indonesia. Lalu ayah mengambil handphone, berniat meneleponku. ***
INVITE MY PATH:
Veronica Faradilla