ELEGI
SANG BUNGA
OLEH:
VERONICA FARADILLA
Ia serupa bunga yang
meranum sendiri. Keindahannya hanya terbalut kelopak dan durinya sendiri. Tak
ada yang berani menyentuh, apalagi mencoba memiliki. Semua akan terkena racun
yang membuat mati.
Dia
adalah puteri tunggal Pak Karjo, seorang pemimpin desa. Namanya Siti.
Orang-orang di desa memanggilnya Mbak Siti, meskipun yang memanggil jauh lebih
tua dan keriput dibandingkan dengan sosok Siti sendiri. Mereka semua hormat kepada
Mbak Siti karena dia anak orang terhormat. Dapat dibilang terhormat, karena
jika bapaknya Siti berjalan, kepalanya mendongak ke arah langit, mencari langit
lapisan ke tujuh. Mereka semua segan kepada Mbak Siti, karena banyak yang
berkata bahwa Mbak Siti tak menerima hujat. Siapa yang menghujat pasti kena
tulah. Oleh karena itu selama beberapa bulan ini keluarga ini aman dari hujat. Penduduk
desa bermanis-manis penuh sapa.
Mbak
Siti cantik, tetapi misterius. Dikatakan cantik karena kulitnya bak porselen
mengkilap seperti yang biasa dipajang di rumah bangsawan. Hidungnya mancung
bagaikan paruh burung. Matanya bulat, dengan bulu mata panjang-panjang.
Semuanya asli, bukan tempelan atau hasil operasi plastik di tangan dingin para
dokter. Itulah hal yang membuat Pak Karjo bangga. Namun dia sudah kehabisan
akal mencari apa yang kurang pada fisik anak gadisnya.
Mbak
Siti dapat dikatakan baik karena dia rajin membagi-bagikan beras dua liter ke
pintu-pintu rumah penduduk. Dia sendiri yang mengetuk-ngetuk pintu demi pintu,
menebar senyum tanpa rembesan kata-kata. Semuanya terkunci rapat di bibirnya
yang mungil. Senyum tanpa kata-kata itulah yang membuat Pak Karjo sering
berkata kepada Mbak Siti, “Wong edan.
Payah hanya kasih gratisan! Kemana mulutmu untuk beri sedikit gombal promosi
tentang Bapak?”
Mbak
Siti juga dapat dikatakan misterius karena dia seperti punya ilmu. Semua orang
segan, para perjaka kabur, para duda bersembunyi. Tak ada laki-laki yang berani
meminangnya. Padahal Mbak Siti hanyalah sosok yang diam, tenang, klasik,
seperti anak gadis yang kerjanya hanya manggut-manggut dan gampang disetir oleh
bapaknya. Tak ada onar dibuatnya. Berita sumbang tak ada dalam lidahnya.
Pernah
ada penduduk yang mencoba menghujatnya, “Orang kaya tapi cuma ngasih dua liter.
Pelit! Pantas saja berat jodoh!”
Esoknya,
penduduk yang mengejeknya tersebut ditemukan tewas tergeletak dengan plastik
berisi beras penuh kutu tergeletak di sampingnya. Padahal beras yang diberikan
oleh Mbak Siti merupakan beras pilihan kualitas nomor satu, dan baru. Bukan
hasil beras endapan yang sudah terlalu lama di gudang.
Sebelumnya,
mantan pacar Mbak Siti yang tega mengkhianati Mbak Siti, juga ditemukan gantung
diri di rumahnya. Penduduk desa bingung. Lah wong dia yang memutuskan hubungan, malah dia yang bunuh diri. Ada
yang tidak beres dengan sosok Mbak Siti.
Sejak
saat itu penduduk desa gempar, merangkaikan sebuah kehebohan massal. Gosip beranak
pinak. Semuanya berkata bahwa Mbak Siti belajar ilmu hitam sama dukun desa
seberang. Orang-orang mulai hilang respek. Bibir-bibir keriput mulai mencibir.
Mereka tak takut mati lagi. Kebenaran harus ditegakkan. Satu persatu mulai
mengucilkan Mbak Siti.
Pak
Karjo panik. “Kamu bunuh mereka ya?”
“Tidak!”
sahut Mbak Siti.
“Pasti
kamu yang bunuh!” tuduh Pak Karjo sambil menghisap rokok.
Mbak
Siti tetap tegas dengan jawaban tidak.
“Lalu
siapa yang bunuh?” Pak Karjo tampak tidak puas. Asap rokoknya semakin mengebul
dari mulut dan hidungnya yang lebar.
“Tuhan!”
Jawaban sarkastis itu meluncur dari bibir sang perawan itu.
Memang
logis. Semua jawaban dari segala pertanyaan pasti mengarah kepada Tuhan.
Penduduk juga pernah bertanya ramai-ramai kepada Tuhan apakah Mbak Siti
benar-benar mempunyai ilmu hitam. Tetapi hening menyergap. Hanya disahuti oleh
suara gemerisik daun yang dipermainkan angin dan tokek yang bersahut-sahutan
dengan kodok empang. Mereka pun ramai-ramai mengambil kesimpulan bahwa karena
tidak ada kesibukan mengurus suami makanya Mbak Siti punya banyak waktu luang
untuk belajar ilmu hitam lalu mengutuk orang.
Pak
Karjo mulai kocar-kacir. Dia merasa kalau keadaannya begini terus maka
reputasinya sebagai orang terhormat bisa hancur lebur tanpa sisa, kuasa bisa
dicabut, penduduk akan buang muka. Itu artinya petaka yang berbuah petaka.
Kemudian Pak Karjo cari cara untuk memberikan kesan normal kepada anak piatu
itu. Dia harus mencarikan anaknya jodoh. Pak Karjo rela membayar berapapun
asalkan anaknya ada yang mau meminang, dan akhirnya dapat menikah. Pak Karjo
tak peduli siapa yang akan meminang. Mau yang bibirnya sumbing, bicaranya
sengau, yang botak, yang berambut, ataupun yang tato-an, semuanya akan diterima
Pak Karjo dengan senang hati.
Akhirnya
Pak Karjo menggelar sayembara, layaknya seorang raja yang ingin mencarikan
pangeran untuk anaknya. Pengumuman berupa brosur pun disebarkan ke seluruh
desa, bahkan sampai ke desa seberang.
Bagi
yang mau menikahi Siti Rahmawani akan mendapatkan hadiah dua puluh lima juta
rupiah!
Elegi
sang perawan pun terukir di sebuah malam basah yang berlumut. Mbak Siti
dipersembahkan demi kehormatan bapaknya di desa. Namun sebuah besi yang indah
telah berkarat, kayu yang berukir telah lapuk digigit rayap, cat yang memukau
telah mengelupas. Pak Karjo tak dapat menyelamatkan sebuah kehormatan yang telah
tercoreng. Tak ada yang mau dengan Mbak Siti. Semua takut terkena kutukan.
“Harga
diri anak-anakku tidak bisa ditukar hanya dengan dua puluh lima juta!” seru ibu
Wati dengan anak perjaka sembilan orang. Semuanya pengangguran.
“Kalau
dia bayar lebih, kau juga mau kan ikut-ikutan menjual anakmu?” tanya suami Bu
Wati.
Bu
Wati tetap menggeleng. Hasilnya, tak ada satu pun yang datang menghadap Pak
Karjo. Pak Karjo seperti kehilangan pamor.
“Dasar
orang-orang tak tahu diuntung! Udah dikasih beras setiap bulan! Ditawari uang
sekaligus perawan malah pada berani nolak!” ujar Pak Karjo dengan nada tinggi.
“Sebuah
kehormatan tak dapat dibeli dengan uang. Kehormatan bukanlah nomor togel!”
sahut Mbak Siti. Wajahnya datar, dingin, namun penuh air mata yang mengering.
Tak
lama setelah itu, kehebohan pun terjadi. Salah satu perjaka dari sembilan
perjakanya Bu Wati meninggal karena kecelakaan motor di jalan raya. Bu Wati
hanya dapat meraung-raung
“Itu
anak bungsuku! Dia pasti dibunuh oleh Mbak Siti karena tak ada satu pun dari
anak-anakku yang kuizinkan menikahi dia. Anak bungsuku dijadikan tumbal oleh
Mbak Siti!”
Warga
yang hadir pada acara pemakaman itu pun menjadi geram mendengarnya. Malam tepat
dimana kubur anak Bu Wati selesai ditutup, warga berkumpul dengan membawa
celurit, tombak, golok, obor, dan minyak tanah.
Mendung
yang pekat menyelimuti desa. Nyanyian-nyanyian pilu mengiringi keberangkatan
penduduk desa. Derap kaki yang seirama, serta hening yang juga diisi oleh deru
nafas bersatu memenuhi malam senyap itu.
Bu
Wati berdiri paling depan, sedangkan suaminya hanya berdiri menatap istrinya
dari kejauhan. Wujudnya tertutup oleh batang pohon pisang.
Setelah
tiba di depan rumah Pak Karjo, mereka semua berteriak-teriak dengan kompak.
“Nyawa balas dengan nyawa! Jadikan perawan itu sebagai tumbal untuk setan yang
dia sembah!”
Kalimat
itu diteriakkan berulang-ulang. Suasana mencekam. Bayi-bayi di rumah papan
mulai menangis seakan-akan ikut panik menangisi nasib Mbak Siti.
Penduduk
desa mulai menghancurkan pagar kayu, merobohkannya dengan celurit dan golok.
Setelah itu mereka menuang minyak tanah, lalu membakar rumah pak Karjo. Atap
kayu rubuh dilahap api, meninggalkan rebah debu. Semua hening, menyaksikan kobaran
api yang berkilau di tengah gelap. Kini hanya ada suara kayu-kayu terbakar,
tanpa ada suara lain. Bau api memenuhi langit di desa itu.
Pak
Karjo tunggang langgang membawa lari Mbak Siti. Dia hanya mengenakan sarung dan
peci.
“Ini
semua salah kamu! Gara-gara kamu gak normal! Andai saja kamu hidup wajar! Punya
suami, punya anak, gak aneh-aneh, kamu gak akan difitnah punya ilmu hitam!”
seru Pak Karjo berang.
Mbak
Siti menatap bapaknya dengan tatapan sedih. “Apakah semua ini murni kesalahan
saya, Pak? Saya tak meminta mereka itu tewas, saya tak meminta apa-apa! Memang
usia mereka hanya sampai disitu.”
Lalu
sang bunga yang tak pernah disentuh itu pun layu. Pak Karjo menyaksikan sendiri
sosok tubuh dengan leher putih memerah terjerat tali rafia tergantung di atas
batang pohon. Tubuh itu berayun-ayun ke kiri dan ke kanan. Mbak Siti telah
meninggalkan serpihan abstrak tentang pertanyaan salah siapa? ***
INVITE MY PATH:
Veronica Faradilla
Veronica Faradilla
No comments:
Post a Comment