Friday, September 12, 2014

ELEGI SANG BUNGA



ELEGI SANG BUNGA
OLEH: VERONICA FARADILLA
Ia serupa bunga yang meranum sendiri. Keindahannya hanya terbalut kelopak dan durinya sendiri. Tak ada yang berani menyentuh, apalagi mencoba memiliki. Semua akan terkena racun yang membuat mati.
            Dia adalah puteri tunggal Pak Karjo, seorang pemimpin desa. Namanya Siti. Orang-orang di desa memanggilnya Mbak Siti, meskipun yang memanggil jauh lebih tua dan keriput dibandingkan dengan sosok Siti sendiri. Mereka semua hormat kepada Mbak Siti karena dia anak orang terhormat. Dapat dibilang terhormat, karena jika bapaknya Siti berjalan, kepalanya mendongak ke arah langit, mencari langit lapisan ke tujuh. Mereka semua segan kepada Mbak Siti, karena banyak yang berkata bahwa Mbak Siti tak menerima hujat. Siapa yang menghujat pasti kena tulah. Oleh karena itu selama beberapa bulan ini keluarga ini aman dari hujat. Penduduk desa bermanis-manis penuh sapa.
            Mbak Siti cantik, tetapi misterius. Dikatakan cantik karena kulitnya bak porselen mengkilap seperti yang biasa dipajang di rumah bangsawan. Hidungnya mancung bagaikan paruh burung. Matanya bulat, dengan bulu mata panjang-panjang. Semuanya asli, bukan tempelan atau hasil operasi plastik di tangan dingin para dokter. Itulah hal yang membuat Pak Karjo bangga. Namun dia sudah kehabisan akal mencari apa yang kurang pada fisik anak gadisnya.
            Mbak Siti dapat dikatakan baik karena dia rajin membagi-bagikan beras dua liter ke pintu-pintu rumah penduduk. Dia sendiri yang mengetuk-ngetuk pintu demi pintu, menebar senyum tanpa rembesan kata-kata. Semuanya terkunci rapat di bibirnya yang mungil. Senyum tanpa kata-kata itulah yang membuat Pak Karjo sering berkata kepada Mbak Siti, “Wong edan. Payah hanya kasih gratisan! Kemana mulutmu untuk beri sedikit gombal promosi tentang Bapak?”
            Mbak Siti juga dapat dikatakan misterius karena dia seperti punya ilmu. Semua orang segan, para perjaka kabur, para duda bersembunyi. Tak ada laki-laki yang berani meminangnya. Padahal Mbak Siti hanyalah sosok yang diam, tenang, klasik, seperti anak gadis yang kerjanya hanya manggut-manggut dan gampang disetir oleh bapaknya. Tak ada onar dibuatnya. Berita sumbang tak ada dalam lidahnya.
            Pernah ada penduduk yang mencoba menghujatnya, “Orang kaya tapi cuma ngasih dua liter. Pelit! Pantas saja berat jodoh!”
            Esoknya, penduduk yang mengejeknya tersebut ditemukan tewas tergeletak dengan plastik berisi beras penuh kutu tergeletak di sampingnya. Padahal beras yang diberikan oleh Mbak Siti merupakan beras pilihan kualitas nomor satu, dan baru. Bukan hasil beras endapan yang sudah terlalu lama di gudang.
            Sebelumnya, mantan pacar Mbak Siti yang tega mengkhianati Mbak Siti, juga ditemukan gantung diri di rumahnya. Penduduk desa bingung. Lah wong dia yang memutuskan hubungan, malah dia yang bunuh diri. Ada yang tidak beres dengan sosok Mbak Siti.
            Sejak saat itu penduduk desa gempar, merangkaikan sebuah kehebohan massal. Gosip beranak pinak. Semuanya berkata bahwa Mbak Siti belajar ilmu hitam sama dukun desa seberang. Orang-orang mulai hilang respek. Bibir-bibir keriput mulai mencibir. Mereka tak takut mati lagi. Kebenaran harus ditegakkan. Satu persatu mulai mengucilkan Mbak Siti.
            Pak Karjo panik. “Kamu bunuh mereka ya?”
            “Tidak!” sahut Mbak Siti.
            “Pasti kamu yang bunuh!” tuduh Pak Karjo sambil menghisap rokok.
            Mbak Siti tetap tegas dengan jawaban tidak.
            “Lalu siapa yang bunuh?” Pak Karjo tampak tidak puas. Asap rokoknya semakin mengebul dari mulut dan hidungnya yang lebar.
            “Tuhan!” Jawaban sarkastis itu meluncur dari bibir sang perawan itu.
            Memang logis. Semua jawaban dari segala pertanyaan pasti mengarah kepada Tuhan. Penduduk juga pernah bertanya ramai-ramai kepada Tuhan apakah Mbak Siti benar-benar mempunyai ilmu hitam. Tetapi hening menyergap. Hanya disahuti oleh suara gemerisik daun yang dipermainkan angin dan tokek yang bersahut-sahutan dengan kodok empang. Mereka pun ramai-ramai mengambil kesimpulan bahwa karena tidak ada kesibukan mengurus suami makanya Mbak Siti punya banyak waktu luang untuk belajar ilmu hitam lalu mengutuk orang.
            Pak Karjo mulai kocar-kacir. Dia merasa kalau keadaannya begini terus maka reputasinya sebagai orang terhormat bisa hancur lebur tanpa sisa, kuasa bisa dicabut, penduduk akan buang muka. Itu artinya petaka yang berbuah petaka. Kemudian Pak Karjo cari cara untuk memberikan kesan normal kepada anak piatu itu. Dia harus mencarikan anaknya jodoh. Pak Karjo rela membayar berapapun asalkan anaknya ada yang mau meminang, dan akhirnya dapat menikah. Pak Karjo tak peduli siapa yang akan meminang. Mau yang bibirnya sumbing, bicaranya sengau, yang botak, yang berambut, ataupun yang tato-an, semuanya akan diterima Pak Karjo dengan senang hati.
            Akhirnya Pak Karjo menggelar sayembara, layaknya seorang raja yang ingin mencarikan pangeran untuk anaknya. Pengumuman berupa brosur pun disebarkan ke seluruh desa, bahkan sampai ke desa seberang.
Bagi yang mau menikahi Siti Rahmawani akan mendapatkan hadiah dua puluh lima juta rupiah!
            Elegi sang perawan pun terukir di sebuah malam basah yang berlumut. Mbak Siti dipersembahkan demi kehormatan bapaknya di desa. Namun sebuah besi yang indah telah berkarat, kayu yang berukir telah lapuk digigit rayap, cat yang memukau telah mengelupas. Pak Karjo tak dapat menyelamatkan sebuah kehormatan yang telah tercoreng. Tak ada yang mau dengan Mbak Siti. Semua takut terkena kutukan.
            “Harga diri anak-anakku tidak bisa ditukar hanya dengan dua puluh lima juta!” seru ibu Wati dengan anak perjaka sembilan orang. Semuanya pengangguran.
            “Kalau dia bayar lebih, kau juga mau kan ikut-ikutan menjual anakmu?” tanya suami Bu Wati.
            Bu Wati tetap menggeleng. Hasilnya, tak ada satu pun yang datang menghadap Pak Karjo. Pak Karjo seperti kehilangan pamor.
            “Dasar orang-orang tak tahu diuntung! Udah dikasih beras setiap bulan! Ditawari uang sekaligus perawan malah pada berani nolak!” ujar Pak Karjo dengan nada tinggi.
            “Sebuah kehormatan tak dapat dibeli dengan uang. Kehormatan bukanlah nomor togel!” sahut Mbak Siti. Wajahnya datar, dingin, namun penuh air mata yang mengering.
            Tak lama setelah itu, kehebohan pun terjadi. Salah satu perjaka dari sembilan perjakanya Bu Wati meninggal karena kecelakaan motor di jalan raya. Bu Wati hanya dapat meraung-raung
            “Itu anak bungsuku! Dia pasti dibunuh oleh Mbak Siti karena tak ada satu pun dari anak-anakku yang kuizinkan menikahi dia. Anak bungsuku dijadikan tumbal oleh Mbak Siti!”
            Warga yang hadir pada acara pemakaman itu pun menjadi geram mendengarnya. Malam tepat dimana kubur anak Bu Wati selesai ditutup, warga berkumpul dengan membawa celurit, tombak, golok, obor, dan minyak tanah.
            Mendung yang pekat menyelimuti desa. Nyanyian-nyanyian pilu mengiringi keberangkatan penduduk desa. Derap kaki yang seirama, serta hening yang juga diisi oleh deru nafas bersatu memenuhi malam senyap itu.
            Bu Wati berdiri paling depan, sedangkan suaminya hanya berdiri menatap istrinya dari kejauhan. Wujudnya tertutup oleh batang pohon pisang.
            Setelah tiba di depan rumah Pak Karjo, mereka semua berteriak-teriak dengan kompak. “Nyawa balas dengan nyawa! Jadikan perawan itu sebagai tumbal untuk setan yang dia sembah!”
            Kalimat itu diteriakkan berulang-ulang. Suasana mencekam. Bayi-bayi di rumah papan mulai menangis seakan-akan ikut panik menangisi nasib Mbak Siti.
            Penduduk desa mulai menghancurkan pagar kayu, merobohkannya dengan celurit dan golok. Setelah itu mereka menuang minyak tanah, lalu membakar rumah pak Karjo. Atap kayu rubuh dilahap api, meninggalkan rebah debu. Semua hening, menyaksikan kobaran api yang berkilau di tengah gelap. Kini hanya ada suara kayu-kayu terbakar, tanpa ada suara lain. Bau api memenuhi langit di desa itu.
            Pak Karjo tunggang langgang membawa lari Mbak Siti. Dia hanya mengenakan sarung dan peci.
            “Ini semua salah kamu! Gara-gara kamu gak normal! Andai saja kamu hidup wajar! Punya suami, punya anak, gak aneh-aneh, kamu gak akan difitnah punya ilmu hitam!” seru Pak Karjo berang.
            Mbak Siti menatap bapaknya dengan tatapan sedih. “Apakah semua ini murni kesalahan saya, Pak? Saya tak meminta mereka itu tewas, saya tak meminta apa-apa! Memang usia mereka hanya sampai disitu.”
            Lalu sang bunga yang tak pernah disentuh itu pun layu. Pak Karjo menyaksikan sendiri sosok tubuh dengan leher putih memerah terjerat tali rafia tergantung di atas batang pohon. Tubuh itu berayun-ayun ke kiri dan ke kanan. Mbak Siti telah meninggalkan serpihan abstrak tentang pertanyaan salah siapa? ***


INVITE MY PATH:
Veronica Faradilla















No comments:

Post a Comment