Friday, September 12, 2014

AKU ANAK TUKANG SAMPAH, TAPI AKU BUKAN SAMPAH



NOTE: KISAH YANG DIMUAT DI ANTOLOGY BOOK "FROM WISDOM TO FREEDOM" (PENERBIT DIVA PRESS. JULI 2014)


AKU ANAK TUKANG SAMPAH, TAPI AKU BUKAN SAMPAH
@Kerorokitta (Veronica Faradilla)
            Di suatu gerimis, dan di bawah naungan tenda sederhana, dua gelas kopi terhidang di meja kayu di hadapanku. Kopi panas yang masih mengepul tersebut sudah sejak tadi kuacuhkan, karena aku asyik mendengarkan kisah yang diutarakan oleh rekan sekerjaku. Diam-diam, kisah tersebut menyelinap ke lubang telingaku, lalu mendobrak hatiku memberikan sebuah motivasi. Aku memang sudah sering mendengar teori bahwa kerja keras yang berpadu dengan doa, pasti akan membuahkan hasil. Namun yang aku butuhkan adalah sebuah bukti nyata. Rekan sekerjaku adalah “bukti” itu sendiri.
            Sebut saja namanya Fian. Fian merupakan sosok muda yang sangat luar biasa. Hanya sedikit orang yang mentalnya setangguh dia. Saya yang pada awalnya merasa bahwa diri saya sudah cukup bekerja keras, rupanya belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dia. Dulu orang-orang mengenalnya hanya sebagai anak tukang sampah. Fian tinggal di daerah kumuh, tepatnya di belakang rel kereta.
Sejak subuh menggeliat, Fian dan ayahnya sudah sibuk bersiap-siap untuk pergi ke komplek belakang rumah demi mengangkut sampah. Begitulah keseharian Fian. Sebelum berangkat sekolah, dia selalu membantu ayahnya mengangkut sampah rumah tangga. Tugas Fian adalah mengoper tong-tong sampah kepada ayahnya yang tengah berdiri di atas gerobak.
Banyak orang yang simpati melihat Fian harus bekerja keras sebelum berangkat ke sekolah. Tak jarang pula seragam, sepatu, dan tas sekolah Fian berasal dari pemberian ibu-ibu kompleks yang kasihan melihat Fian. Meskipun bekas, Fian tetap gembira menerimanya. Dia akan mencium tangan ibu itu lalu berterima kasih.
Orangtua Fian memang tidak pernah sanggup membelikan seragam, sepatu, atau tas sekolah baru untuk Fian. Maklum saja, gaji ayahnya sebulan hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari, membayar uang sekolah Fian, dan membayar uang listrik. Sedangkan Ibu Fian tidak bekerja. Setiap siang ibu Fian selalu pergi ke pasar untuk mengadu peruntungan. Beliau memunguti sisa-sisa sayur yang sudah dibuang oleh para pedagang sayur karena sudah tidak layak jual.
Di pasar itu juga ada aktivitas para pedagang beras yang mengangkut karung-karung beras dari supplier. Tak sedikit butir-butir beras yang berhamburan ke tanah ketika pedagang-pedagang tersebut mengangkut beras. Inilah yang dianggap peluang oleh ibu Fian. Jika sudah sepi, beliau akan memunguti butir-butir beras tersebut untuk ditanak. Jika beruntung, butiran-butiran beras yang dikumpulkan bisa untuk makan bertiga.
“Lumayan. Kita jadi hemat. Buat hari ini kita nggak usah beli beras. Duit bapakmu bisa disimpan buat tambahan bayar uang sekolah,” ujar Ibu Fian.
Dari peristiwa itu, Fian belajar untuk berhemat. Secara tidak langsung Fian menohok kebiasaanku yang sering membuang-buang makanan. Dari ceritanya, aku disadarkan bahwa masih banyak orang-orang kurang mampu yang untuk makan saja sulit.
Kemudian Fian kembali mengajakku untuk menyelami kehidupannya di masa silam. Dia berkisah bahwa untuk mendapatkan buku-buku bekas kakak kelas, Fian sering mengajukan diri kepada guru untuk bekerja. Dia rela membantu membersihkan ruang perpustakaan dan ruang guru. Fian hanya minta dibayar dengan sebuah buku pelajaran. Hal itu membuat para guru simpati, lalu dengan sukarela memberikan buku-buku gratis untuk Fian.
Fian lain sendiri. Di saat teman-teman sebayanya asyik bermain, Fian malah sibuk bekerja. Hal ini membuat teman-temannya mengejek dan mem-bullynya.
“Si miskin, anak tukang sampah. Ih, jangan dekat-dekat Fian. Fian bau sampah!”
Tak jarang pula teman-temannya memenuhi kolong meja Fian dengan bungkus-bungkus snack atau permen.
“Tuh, ada sampah buat kamu. Kamu kan hobi ngumpulin sampah.”
Fian diam saja. Dia tetap gigih melakukan apa yang ingin dilakukannya. Fian tetap giat belajar. Fian tetap bekerja membantu ayahnya mengangkat sampah. Fian tetap membantu merapikan perpustakaan serta ruang guru. Fian tak peduli akan ejekan. Ia tetap melakoni kehidupan dengan gagah, tanpa melupakan kodratnya sebagai siswa yang harus rajin belajar.
***
Aku menatap Fian yang sedang duduk di hadapanku. Usianya baru 30 tahun, tapi ia sudah dipercaya untuk menjadi direktur di tempatku bekerja. Aku hormat kepadanya. Dia merupakan atasan yang luar biasa, dan juga down to earth. Dia tak segan-segan bergaul dengan para bawahan. Meski begitu, dia tidak kehilangan wibawanya. Saat ini dia sedang mengembangkan bisnis property sebagai usaha sampingan.
Fian membuktikan: Meski dia anak tukang sampah, tetapi dia bukan sampah.
“Nggak pernah Tuhan mengurangi sesuatu tanpa menambahkan kelebihan terlebih dahulu. Siapapun itu bisa mendobrak asumsi “yang sukses hanyalah orang kaya yang bermodal”. Nggak! Nggak ada prinsip kayak gitu. Prinsip saya adalah yang sukses adalah orang yang gigih. Modal dan relasi akan datang dengan sendirinya jika kita gigih melihat peluang. Buktikan!” ujar Fian.
Aku tersenyum. “Siap Pak Bos!” ***
Based On True Story
                                                                                                      Jakarta


Invite my Path:
Veronica Faradilla


No comments:

Post a Comment