NOTE: KISAH YANG DIMUAT DI ANTOLOGY BOOK "FROM WISDOM TO FREEDOM" (PENERBIT DIVA PRESS. JULI 2014)
AKU ANAK TUKANG SAMPAH,
TAPI AKU BUKAN SAMPAH
@Kerorokitta (Veronica
Faradilla)
Di
suatu gerimis, dan di bawah naungan tenda sederhana, dua gelas kopi terhidang
di meja kayu di hadapanku. Kopi panas yang masih mengepul tersebut sudah sejak
tadi kuacuhkan, karena aku asyik mendengarkan kisah yang diutarakan oleh rekan
sekerjaku. Diam-diam, kisah tersebut menyelinap ke lubang telingaku, lalu
mendobrak hatiku memberikan sebuah motivasi. Aku memang sudah sering mendengar
teori bahwa kerja keras yang berpadu dengan doa, pasti akan membuahkan hasil.
Namun yang aku butuhkan adalah sebuah bukti nyata. Rekan sekerjaku adalah
“bukti” itu sendiri.
Sebut
saja namanya Fian. Fian merupakan sosok muda yang sangat luar biasa. Hanya
sedikit orang yang mentalnya setangguh dia. Saya yang pada awalnya merasa bahwa
diri saya sudah cukup bekerja keras, rupanya belum ada apa-apanya jika
dibandingkan dengan dia. Dulu orang-orang mengenalnya hanya sebagai anak tukang
sampah. Fian tinggal di daerah kumuh, tepatnya di belakang rel kereta.
Sejak
subuh menggeliat, Fian dan ayahnya sudah sibuk bersiap-siap untuk pergi ke
komplek belakang rumah demi mengangkut sampah. Begitulah keseharian Fian.
Sebelum berangkat sekolah, dia selalu membantu ayahnya mengangkut sampah rumah
tangga. Tugas Fian adalah mengoper tong-tong sampah kepada ayahnya yang tengah
berdiri di atas gerobak.
Banyak orang yang
simpati melihat Fian harus bekerja keras sebelum berangkat ke sekolah. Tak
jarang pula seragam, sepatu, dan tas sekolah Fian berasal dari pemberian ibu-ibu
kompleks yang kasihan melihat Fian. Meskipun bekas, Fian tetap gembira
menerimanya. Dia akan mencium tangan ibu itu lalu berterima kasih.
Orangtua Fian memang
tidak pernah sanggup membelikan seragam, sepatu, atau tas sekolah baru untuk
Fian. Maklum saja, gaji ayahnya sebulan hanya cukup untuk biaya makan
sehari-hari, membayar uang sekolah Fian, dan membayar uang listrik. Sedangkan
Ibu Fian tidak bekerja. Setiap siang ibu Fian selalu pergi ke pasar untuk
mengadu peruntungan. Beliau memunguti sisa-sisa sayur yang sudah dibuang oleh
para pedagang sayur karena sudah tidak layak jual.
Di pasar itu juga ada
aktivitas para pedagang beras yang mengangkut karung-karung beras dari
supplier. Tak sedikit butir-butir beras yang berhamburan ke tanah ketika
pedagang-pedagang tersebut mengangkut beras. Inilah yang dianggap peluang oleh
ibu Fian. Jika sudah sepi, beliau akan memunguti butir-butir beras tersebut untuk
ditanak. Jika beruntung, butiran-butiran beras yang dikumpulkan bisa untuk
makan bertiga.
“Lumayan. Kita jadi
hemat. Buat hari ini kita nggak usah beli beras. Duit bapakmu bisa disimpan
buat tambahan bayar uang sekolah,” ujar Ibu Fian.
Dari peristiwa itu,
Fian belajar untuk berhemat. Secara tidak langsung Fian menohok kebiasaanku
yang sering membuang-buang makanan. Dari ceritanya, aku disadarkan bahwa masih
banyak orang-orang kurang mampu yang untuk makan saja sulit.
Kemudian Fian kembali
mengajakku untuk menyelami kehidupannya di masa silam. Dia berkisah bahwa untuk
mendapatkan buku-buku bekas kakak kelas, Fian sering mengajukan diri kepada
guru untuk bekerja. Dia rela membantu membersihkan ruang perpustakaan dan ruang
guru. Fian hanya minta dibayar dengan sebuah buku pelajaran. Hal itu membuat
para guru simpati, lalu dengan sukarela memberikan buku-buku gratis untuk Fian.
Fian lain sendiri. Di
saat teman-teman sebayanya asyik bermain, Fian malah sibuk bekerja. Hal ini
membuat teman-temannya mengejek dan mem-bullynya.
“Si miskin, anak tukang
sampah. Ih, jangan dekat-dekat Fian. Fian bau sampah!”
Tak jarang pula
teman-temannya memenuhi kolong meja Fian dengan bungkus-bungkus snack atau permen.
“Tuh, ada sampah buat
kamu. Kamu kan hobi ngumpulin sampah.”
Fian diam saja. Dia
tetap gigih melakukan apa yang ingin dilakukannya. Fian tetap giat belajar.
Fian tetap bekerja membantu ayahnya mengangkat sampah. Fian tetap membantu
merapikan perpustakaan serta ruang guru. Fian tak peduli akan ejekan. Ia tetap
melakoni kehidupan dengan gagah, tanpa melupakan kodratnya sebagai siswa yang
harus rajin belajar.
***
Aku menatap Fian yang
sedang duduk di hadapanku. Usianya baru 30 tahun, tapi ia sudah dipercaya untuk
menjadi direktur di tempatku bekerja. Aku hormat kepadanya. Dia merupakan
atasan yang luar biasa, dan juga down to
earth. Dia tak segan-segan bergaul dengan para bawahan. Meski begitu, dia
tidak kehilangan wibawanya. Saat ini dia sedang mengembangkan bisnis property sebagai usaha sampingan.
Fian membuktikan: Meski
dia anak tukang sampah, tetapi dia bukan sampah.
“Nggak pernah Tuhan
mengurangi sesuatu tanpa menambahkan kelebihan terlebih dahulu. Siapapun itu
bisa mendobrak asumsi “yang sukses hanyalah orang kaya yang bermodal”. Nggak!
Nggak ada prinsip kayak gitu. Prinsip saya adalah yang sukses adalah orang yang
gigih. Modal dan relasi akan datang dengan sendirinya jika kita gigih melihat
peluang. Buktikan!” ujar Fian.
Aku tersenyum. “Siap
Pak Bos!” ***
Based On True Story
Jakarta
Invite my Path:
Veronica Faradilla
No comments:
Post a Comment