Friday, September 12, 2014

KURSI MERAH MARUN




KURSI MERAH MARUN
Oleh: Veronica Faradilla
Mungkin aku adalah laki-laki tua bodoh yang selalu duduk di kursi merah marun, memperhatikan untaian-untaian keringatmu yang jatuh membasahi meja kayu. Aku selalu memperhatikanmu melalui dinding botol kaca. Aku menyukai segalanya tentang kamu. Aku suka rambut hitam panjangmu yang sedikit memutih. Aku suka wajahmu yang seputih putih telur rebus. Aku juga suka keriput-keriput yang mulai berlomba mengukir jejak di wajahmu. Namun sayang, aku tak tahu namamu.
 Kau selalu menyantap mie kuah panas, dengan jagung bakar keju. Paduan makanan yang memang menggambarkan ciri khasmu. Biasanya kau akan mencelupkan jagung bakar tersebut ke dalam mangkukmu, kemudian menggerogoti jagung tersebut pelan-pelan. Kau melakukannya dengan sangat hati-hati, seperti menjaga agar gigi rapuhmu itu tidak tanggal, menancap pada bonggol jagung.
 Kau selalu duduk di tempat yang sama, jam yang sama, menyantap makanan yang sama. Mungkin sama seperti diriku yang kini sibuk memanjakan geliat lidahku dengan kari kentang dan nasi putih. Asap ngebul yang berasal dari panasnya makanan yang baru saja dihidangkan tersebut, menyeruak dengan rakus, menerpa wajahku. Kini wajahku berubah warna menjadi merah seperti warna bantal kursi yang kududuki selama ini. Kontras sekali dengan warna kumis dan janggutku yang juga mulai memutih.
Ternyata kota ini masih sama, masih padat merayap dengan warna hijau yang kian botak. Kota ini juga masih sering dihukum oleh teror-teror bom, banjir air mata, dan lelehan keringat mesum dalam hotel-hotel kelas kerdil di ujung pasar, ataupun kelas raksasa di tengah kota.
Tetapi aku tidak peduli dengan dunia di luar jendela kaca kedai ini. Aku hanya peduli pada wajah cantikmu dan gerakan-gerakan gemulai jemarimu ketika kau sedang memutar-mutar lembaran-lembaran mie dengan garpumu, lalu menghilangkannya dalam rongga mulutmu.
Aku juga memperhatikan metamorfosa dirimu, hingga kini kau telah menggandeng seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun. Kau tidak pernah terlihat bersama laki-laki manapun, lalu bagaimana kau punya anak? Ataukah aku yang telah hilang bersama pikiran-pikiran tuaku?
 Kau mengelus rambut anak itu dengan penuh kasih sayang. Tapi aku yakin itu bukan anakmu. Aku tidak pernah melihatmu hamil. Lalu anak siapakah itu, Sayang? Ataukah itu anakku, yang telah kita buat tanpa aku sendiri menyadari itu? Aku ingin sekali menghampirimu, bertanya kepadamu demi mengisi kekosonganku. Tetapi aku tak berdaya seperti biasa. Aku kembali sibuk memperhatikanmu yang tengah menyingkirkan piring makanmu, lalu membawanya ke dapur.
 Ah, aku lupa. Kaulah pemilik kedai ini! Kala kedai ini sedang sepi, dan hanya menyisakan satu pengunjung, yakni aku, kau selalu makan di meja itu. Kau selalu menatap ke arahku. Lebih tepatnya kau selalu memandang kursi yang kududuki.
Batinku selalu bertanya, apa yang istimewa dari kursi ini, Sayang? Pernah juga kuamati kursi ini. Hanya kursi kayu dengan bantal duduk berwarna merah marun yang warnanya tidak merata dan bahkan sudah pudar. Tak ada yang istimewa. Malah terkesan kumal. Satu-satunya kursi yang paling jelek, di antara kursi-kursi lainnya. Tetapi aku lebih suka duduk di sini, karena dari sini aku dapat melihatmu secara lebih jelas.
Oh ya apa kau menatap kursi ini karena ada aku yang sedang mendudukinya? Kau tidak pernah tahu bahwa aku selalu mengecupmu diam-diam dalam lelapku. Setiap malam aku menorehkan cerita pada bintang bahwa kelak aku akan menikah denganmu. Aku suka warna merah marun, jadi aku ingin merah marun menjadi warna pakaian pernikahan kita kelak. Aku akan mengizinkanmu mengundang sebanyak-banyaknya saudara, kerabat, teman, ataupun kenalan. Pesta itu akan menjadi pestamu. Aku tidak punya siapa-siapa untuk kuundang, tetapi aku punya kamu untuk berdiri di sisiku. Kamu sudah lebih dari cukup.
***
Denting bel kembali terdengar. Suara decit-decit meja yang digeser dan suara kursi kayu yang beradu pada tubuh meja memenuhi ruangan, lalu sekejap hening. Suasana semakin sepi, menghantarkan dinginnya kota pada ukiran-ukiran kayu pada pintu dan dinding.
“Pak, kedainya mau tutup.” Kau menepuk pelan bahuku.
Aku nyaris saja terjatuh dari kursiku, ketika melihatmu sudah berdiri di sampingku. Aku telah membiarkan diriku tertidur di sini. Bagaimana mungkin? Biasanya aku selalu pulang sebelum kedai ini jadi ramai. Aku takut keramaian, karena keramaian seperti memusuhiku. Tetapi sekarang aku berhasil duduk di sini melewati keramaian itu. Tanpa sadar tentunya.
            “Bapak bisa datang lagi besok,” ujarmu lembut.
“B-besok? Oh iya, aku akan datang!” Tak kepalang kebahagiaan langsung membungkus jiwaku. Ucapanmu itu terdengar seperti undangan sejuta malaikat. Surga seperti sudah menyapa lekat-lekat.
“Sepertinya Bapak sering datang ke sini ya? Apa Bapak tinggal di dekat sini?” tanyamu.
Aku beku. Aku tidak tahu bagaimana caranya berbicara dengan baik dan menarik. Aku tidak tahu bagaimana memikat hati lawan jenis. Aku berusaha mengalahkan debur jantungku, tetapi tak bisa.
Kau kembali tersenyum. “Senang sekali Bapak bisa jadi pelanggan setia kedai ini.”
“A-aku suka sekali dengan kedai ini,” sahutku cepat.
“Tapi rasanya dulu kita seperti pernah bertemu ya, Pak? Wajah Bapak tidak asing,” ujarmu.
“Memang,” sahutku.
“Oh ya, boleh tahu siapa nama Bapak?”
“Alfonso Richard.”
Wajahmu berubah pucat. Senyummu mendadak lenyap, dan kedua matamu membelalak. Kau memundurkan langkahmu.
“Bu?” Aku kebingungan melihat ekspresimu yang seperti hendak memakanku. “Kenapa, Bu?”
“Pembunuh!” ujarmu pelan tapi tegas.
“Aku?” Spontan aku berdiri. Kepalaku seperti berputar, menghaturkan butir-butir keringat dingin yang bertaburan. Aku telah melupakan sesuatu, dan sekarang aku dipaksa untuk mengingatnya.
 Hitam pada kedua bola matamu membuat ingatanku berkumpul menjadi satu. Tentang kejadian sepuluh tahun lalu. Aku tak tahu namamu. Tapi kita pernah bertemu di suatu supermarket.  Kala itu aku tak sengaja menjatuhkan barang-barang belanjaanku, dan juga dompet uang recehku. Uang logam bergelindingan seperti hujan yang memecah di tanah. Aku membungkuk-bungkuk dengan panik, memunguti logam-logam itu. Banyak yang menertawakanku, begitu pula pegawai toko.
Hanya kau, yang tak pernah kuketahui namanya, tersenyum kepadaku lalu membantuku memungut logam-logam. Aku tak tahu apa-apa tentang jatuh cinta, karena aku telah menghabiskan tiga puluh lima tahun tanpa cinta. Tapi aku tahu itu cinta saat tanganku bergetar ketika secara tak sengaja kau menyentuh kulitku. Saat itu juga meteor berjatuhan di dadaku, tsunami terhebat mengguncang tubuhku, dan keringatku membentuk sebuah samudera. Setelah itu kau hilang.
Gemuruh di dadaku memerintahku untuk pergi mencarimu. Aku berhasil menemukanmu sedang melihat-lihat mainan di toko anak-anak. Kau pasti menginginkan anak. Kelak aku akan memberikan sebuah bayi lucu kepada rahimmu. Aku mengawasi gerak-gerikmu, dan mencatat setiap aktivitasmu. Sampai aku menemukanmu di kedai itu.
Namun aku hancur lebur ketika melihatmu memanggil pemuda di kedai itu dengan sebutan Papa. Itu bukan ayahmu, karena dia tidak jauh lebih tua darimu. Itu suamimu! Aku tidak pernah menyangka kau adalah istri dari seorang laki-laki yang tidak pernah menghargaimu. Aku tak rela ketika melihat kau dimaki suamimu. Dia bilang kau tidak becus. Mengapa dia berkata seperti itu? Padahal kau itu lebih rajin dibandingkan suamimu yang hobi mabuk-mabukkan, dimanja oleh aroma anggur murah pinggir jalan.
“Alfonso, kau lupa? Kau yang telah membunuh suamiku di kedai kedai milik suamiku. Kau membunuhnya tepat di kursi yang kau duduki sekarang.”
Ya aku. Bagaimana aku bisa melupakan hal itu? Sepuluh tahun lalu aku menunggu sampai kedaimu tutup. Aku tertidur di kedaimu seperti saat ini. Kau membangunkanku dengan lembut. Aku segera berdiri untuk meninggalkan kedaimu. Suamimu segera mengambil alih posisi dudukku. Dengan seenaknya dia memanggilmu seperti budak. Kini ribuan gunung berapi menumpahkan seluruh laharnya di dadaku. Aku berlari menerjang. Kuhunuskan pisau lipat ke perut buncit laki-laki itu berkali-kali.
Aku ingat kau menjerit-jerit berpadu dengan suara bayi yang meraung-raung. Suara bayimu? Semua suara-suara bising itu membelah malam, mengirimkan bintang-bintang ke kepalaku, sebelum akhirnya aku pingsan. Ketika aku terbangun, aku sudah berada di penjara, dalam kungkungan orang-orang berseragam.
“Apa yang kulakukan? Kenapa aku bisa di sini?” tanyaku pada dinding dingin berwarna abu-abu.
Tak pernah ada yang menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Tidak juga kau, tidak juga diriku sendiri. Aku menua di penjara dikerumuni kebingungan akan apa yang telah terjadi. Aku mengutuk dunia, mengutuk semua benda yang ku-tuhan-kan.
“Aku mengenang suamiku, kau, dan peristiwa itu dengan tetap membiarkan kursi ini di sini. Kursi putih susu yang menjadi merah marun karena darah suamiku yang tidak bisa hilang.”
Aku memegang kepalaku. Rasanya aku kacau, sangat kacau. Sekacau berita-berita kesedihan yang terpampang pada layar televisi di kedaimu hari itu.***



INVITE MY PATH:
Veronica Faradilla

No comments:

Post a Comment