KURSI
MERAH MARUN
Oleh:
Veronica Faradilla
Mungkin aku adalah laki-laki
tua bodoh yang selalu duduk di kursi merah marun, memperhatikan untaian-untaian
keringatmu yang jatuh membasahi meja kayu. Aku selalu memperhatikanmu melalui
dinding botol kaca. Aku menyukai segalanya tentang kamu. Aku suka rambut hitam
panjangmu yang sedikit memutih. Aku suka wajahmu yang seputih putih telur
rebus. Aku juga suka keriput-keriput yang mulai berlomba mengukir jejak di
wajahmu. Namun sayang, aku tak tahu namamu.
Kau selalu menyantap mie kuah panas, dengan
jagung bakar keju. Paduan makanan yang memang menggambarkan ciri khasmu.
Biasanya kau akan mencelupkan jagung bakar tersebut ke dalam mangkukmu,
kemudian menggerogoti jagung tersebut pelan-pelan. Kau melakukannya dengan sangat
hati-hati, seperti menjaga agar gigi rapuhmu itu tidak tanggal, menancap pada
bonggol jagung.
Kau selalu duduk di tempat yang sama, jam yang
sama, menyantap makanan yang sama. Mungkin sama seperti diriku yang kini sibuk
memanjakan geliat lidahku dengan kari kentang dan nasi putih. Asap ngebul yang
berasal dari panasnya makanan yang baru saja dihidangkan tersebut, menyeruak
dengan rakus, menerpa wajahku. Kini wajahku berubah warna menjadi merah seperti
warna bantal kursi yang kududuki selama ini. Kontras sekali dengan warna kumis
dan janggutku yang juga mulai memutih.
Ternyata kota ini masih
sama, masih padat merayap dengan warna hijau yang kian botak. Kota ini juga
masih sering dihukum oleh teror-teror bom, banjir air mata, dan lelehan
keringat mesum dalam hotel-hotel kelas kerdil di ujung pasar, ataupun kelas
raksasa di tengah kota.
Tetapi aku tidak peduli
dengan dunia di luar jendela kaca kedai ini. Aku hanya peduli pada wajah
cantikmu dan gerakan-gerakan gemulai jemarimu ketika kau sedang memutar-mutar
lembaran-lembaran mie dengan garpumu, lalu menghilangkannya dalam rongga
mulutmu.
Aku juga memperhatikan
metamorfosa dirimu, hingga kini kau telah menggandeng seorang anak perempuan
berusia sepuluh tahun. Kau tidak pernah terlihat bersama laki-laki manapun,
lalu bagaimana kau punya anak? Ataukah aku yang telah hilang bersama
pikiran-pikiran tuaku?
Kau mengelus rambut anak itu dengan penuh
kasih sayang. Tapi aku yakin itu bukan anakmu. Aku tidak pernah melihatmu
hamil. Lalu anak siapakah itu, Sayang? Ataukah itu anakku, yang telah kita buat
tanpa aku sendiri menyadari itu? Aku ingin sekali menghampirimu, bertanya
kepadamu demi mengisi kekosonganku. Tetapi aku tak berdaya seperti biasa. Aku
kembali sibuk memperhatikanmu yang tengah menyingkirkan piring makanmu, lalu
membawanya ke dapur.
Ah, aku lupa. Kaulah pemilik kedai ini! Kala
kedai ini sedang sepi, dan hanya menyisakan satu pengunjung, yakni aku, kau
selalu makan di meja itu. Kau selalu menatap ke arahku. Lebih tepatnya kau
selalu memandang kursi yang kududuki.
Batinku selalu
bertanya, apa yang istimewa dari kursi ini, Sayang? Pernah juga kuamati kursi
ini. Hanya kursi kayu dengan bantal duduk berwarna merah marun yang warnanya
tidak merata dan bahkan sudah pudar. Tak ada yang istimewa. Malah terkesan
kumal. Satu-satunya kursi yang paling jelek, di antara kursi-kursi lainnya. Tetapi
aku lebih suka duduk di sini, karena dari sini aku dapat melihatmu secara lebih
jelas.
Oh ya apa kau menatap
kursi ini karena ada aku yang sedang mendudukinya? Kau tidak pernah tahu bahwa
aku selalu mengecupmu diam-diam dalam lelapku. Setiap malam aku menorehkan
cerita pada bintang bahwa kelak aku akan menikah denganmu. Aku suka warna merah
marun, jadi aku ingin merah marun menjadi warna pakaian pernikahan kita kelak.
Aku akan mengizinkanmu mengundang sebanyak-banyaknya saudara, kerabat, teman,
ataupun kenalan. Pesta itu akan menjadi pestamu. Aku tidak punya siapa-siapa
untuk kuundang, tetapi aku punya kamu untuk berdiri di sisiku. Kamu sudah lebih
dari cukup.
***
Denting bel kembali
terdengar. Suara decit-decit meja yang digeser dan suara kursi kayu yang beradu
pada tubuh meja memenuhi ruangan, lalu sekejap hening. Suasana semakin sepi,
menghantarkan dinginnya kota pada ukiran-ukiran kayu pada pintu dan dinding.
“Pak, kedainya mau
tutup.” Kau menepuk pelan bahuku.
Aku nyaris saja
terjatuh dari kursiku, ketika melihatmu sudah berdiri di sampingku. Aku telah
membiarkan diriku tertidur di sini. Bagaimana mungkin? Biasanya aku selalu
pulang sebelum kedai ini jadi ramai. Aku takut keramaian, karena keramaian
seperti memusuhiku. Tetapi sekarang aku berhasil duduk di sini melewati
keramaian itu. Tanpa sadar tentunya.
“Bapak
bisa datang lagi besok,” ujarmu lembut.
“B-besok? Oh iya, aku
akan datang!” Tak kepalang kebahagiaan langsung membungkus jiwaku. Ucapanmu itu
terdengar seperti undangan sejuta malaikat. Surga seperti sudah menyapa
lekat-lekat.
“Sepertinya Bapak
sering datang ke sini ya? Apa Bapak tinggal di dekat sini?” tanyamu.
Aku beku. Aku tidak
tahu bagaimana caranya berbicara dengan baik dan menarik. Aku tidak tahu
bagaimana memikat hati lawan jenis. Aku berusaha mengalahkan debur jantungku,
tetapi tak bisa.
Kau kembali tersenyum.
“Senang sekali Bapak bisa jadi pelanggan setia kedai ini.”
“A-aku suka sekali
dengan kedai ini,” sahutku cepat.
“Tapi rasanya dulu kita
seperti pernah bertemu ya, Pak? Wajah Bapak tidak asing,” ujarmu.
“Memang,” sahutku.
“Oh ya, boleh tahu
siapa nama Bapak?”
“Alfonso Richard.”
Wajahmu berubah pucat.
Senyummu mendadak lenyap, dan kedua matamu membelalak. Kau memundurkan
langkahmu.
“Bu?” Aku kebingungan
melihat ekspresimu yang seperti hendak memakanku. “Kenapa, Bu?”
“Pembunuh!” ujarmu
pelan tapi tegas.
“Aku?” Spontan aku
berdiri. Kepalaku seperti berputar, menghaturkan butir-butir keringat dingin
yang bertaburan. Aku telah melupakan sesuatu, dan sekarang aku dipaksa untuk
mengingatnya.
Hitam pada kedua bola matamu membuat ingatanku
berkumpul menjadi satu. Tentang kejadian sepuluh tahun lalu. Aku tak tahu
namamu. Tapi kita pernah bertemu di suatu supermarket. Kala itu aku tak sengaja menjatuhkan
barang-barang belanjaanku, dan juga dompet uang recehku. Uang logam
bergelindingan seperti hujan yang memecah di tanah. Aku membungkuk-bungkuk
dengan panik, memunguti logam-logam itu. Banyak yang menertawakanku, begitu
pula pegawai toko.
Hanya kau, yang tak
pernah kuketahui namanya, tersenyum kepadaku lalu membantuku memungut
logam-logam. Aku tak tahu apa-apa tentang jatuh cinta, karena aku telah
menghabiskan tiga puluh lima tahun tanpa cinta. Tapi aku tahu itu cinta saat
tanganku bergetar ketika secara tak sengaja kau menyentuh kulitku. Saat itu
juga meteor berjatuhan di dadaku, tsunami terhebat mengguncang tubuhku, dan
keringatku membentuk sebuah samudera. Setelah itu kau hilang.
Gemuruh di dadaku
memerintahku untuk pergi mencarimu. Aku berhasil menemukanmu sedang
melihat-lihat mainan di toko anak-anak. Kau pasti menginginkan anak. Kelak aku
akan memberikan sebuah bayi lucu kepada rahimmu. Aku mengawasi gerak-gerikmu,
dan mencatat setiap aktivitasmu. Sampai aku menemukanmu di kedai itu.
Namun aku hancur lebur
ketika melihatmu memanggil pemuda di kedai itu dengan sebutan Papa. Itu bukan
ayahmu, karena dia tidak jauh lebih tua darimu. Itu suamimu! Aku tidak pernah
menyangka kau adalah istri dari seorang laki-laki yang tidak pernah
menghargaimu. Aku tak rela ketika melihat kau dimaki suamimu. Dia bilang kau
tidak becus. Mengapa dia berkata seperti itu? Padahal kau itu lebih rajin
dibandingkan suamimu yang hobi mabuk-mabukkan, dimanja oleh aroma anggur murah
pinggir jalan.
“Alfonso, kau lupa? Kau
yang telah membunuh suamiku di kedai kedai milik suamiku. Kau membunuhnya tepat
di kursi yang kau duduki sekarang.”
Ya aku. Bagaimana aku
bisa melupakan hal itu? Sepuluh tahun lalu aku menunggu sampai kedaimu tutup.
Aku tertidur di kedaimu seperti saat ini. Kau membangunkanku dengan lembut. Aku
segera berdiri untuk meninggalkan kedaimu. Suamimu segera mengambil alih posisi
dudukku. Dengan seenaknya dia memanggilmu seperti budak. Kini ribuan gunung
berapi menumpahkan seluruh laharnya di dadaku. Aku berlari menerjang.
Kuhunuskan pisau lipat ke perut buncit laki-laki itu berkali-kali.
Aku ingat kau
menjerit-jerit berpadu dengan suara bayi yang meraung-raung. Suara bayimu? Semua
suara-suara bising itu membelah malam, mengirimkan bintang-bintang ke kepalaku,
sebelum akhirnya aku pingsan. Ketika aku terbangun, aku sudah berada di
penjara, dalam kungkungan orang-orang berseragam.
“Apa yang kulakukan?
Kenapa aku bisa di sini?” tanyaku pada dinding dingin berwarna abu-abu.
Tak pernah ada yang
menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Tidak juga kau, tidak juga diriku sendiri.
Aku menua di penjara dikerumuni kebingungan akan apa yang telah terjadi. Aku
mengutuk dunia, mengutuk semua benda yang ku-tuhan-kan.
“Aku mengenang suamiku,
kau, dan peristiwa itu dengan tetap membiarkan kursi ini di sini. Kursi putih
susu yang menjadi merah marun karena darah suamiku yang tidak bisa hilang.”
Aku memegang kepalaku. Rasanya
aku kacau, sangat kacau. Sekacau berita-berita kesedihan yang terpampang pada
layar televisi di kedaimu hari itu.***
INVITE MY PATH:
Veronica Faradilla
No comments:
Post a Comment