Friday, September 12, 2014

JANGAN MENYERAH, NAK! IBU SELALU DI SINI

NOTE: Cerpen yang diikutsertakan dalam lomba Everlasting Woman Diva Press


JANGAN MENYERAH, NAK! IBU SELALU DI SINI
OLEH: @Kerorokitta (Veronica Faradilla)
            “Gue udah cerai, Ver.”
Aku terlonjak mendengar berita yang dibawakan oleh Vira, sahabatku. “Hah? Cerai?!! Bercanda kali lo!”
Beberapa menit kemudian aku langsung menutup mulutku karena sadar bahwa suara yang kuhasilkan begitu nyaring. Untung saja kafe tempat kami berada saat ini sedang lengang. Hanya ada aku dan Vira di sana. Pagi memang masih mengudara. Belum banyak yang ingin bercengkrama di kafe yang terletak di sudut kota Jakarta itu.
Aku terpaku menatap Vira. Aku menyadari bahwa saat ini Vira tidak sedang bercanda. Setelah satu tahun tidak bertemu, fisik Vira berubah drastis. Vira semakin kurus, dan wajahnya tirus. Ditambah lagi lingkaran hitam yang menghiasi bagian bawah matanya.
“Gue udah nggak kuat hidup rasanya. Suami gue selingkuh, padahal lo tahu sendiri kalau pernikahan gue sama dia baru seumur jagung. Baru dua tahun! Gue nggak nyangka dia setega itu. Padahal gue udah berusaha ngasih yang terbaik buat dia loh. Gue kerja mati-matian buat bantuin memenuhi kebutuhan rumah tangga. Gue rawat dia kalau sakit. Gue dengerin keluh kesahnya. Gue penuhin seluruh kebutuhannya. Gue turutin semua kemauannya. Tapi begini balasan dia ke gue,” keluh Vira.
Aku hanya diam. Aku memang tidak mengerti harus berkata apa untuk menghibur Vira. Aku takut, jika aku salah berkata-kata, kondisi mental Vira akan bertambah buruk, dan dia akan bertambah sedih. Namun seharusnya aku menghiburnya saat itu. Setidaknya aku memeluknya sebagai tanda bahwa dia tidak sendirian. Tapi saat itu aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya membeku. Aku tidak pernah tahu bahwa dia akan berbuat nekat.
***
Aku masih ingat ketika sore itu aku harus bergegas ke rumah sakit di daerah Jakarta Selatan. Aku tembus hujan yang merongrong langit. Aku tidak peduli meskipun keadaanku saat itu sudah kuyup. Kembali terngiang di benakku ucapan-ucapan tragis yang meluncur dari bibir tua ibunya Vira.
“Nak Vero, Vira di rumah sakit. Keadaannya kritis.”
“Loh? Kenapa, Bu? Vira sakit apa?!” Aku benar-benar terkejut karena kemarin saat bersua denganku, Vira masih sehat-sehat saja walaupun keadaannya kacau balau.
“Dia berusaha bunuh diri dengan menenggak racun serangga. Untung Ibu cepat menemukannya. Kalau nggak, mungkin dia sudah lewat, Nak Ver.”
Aku kembali hening. Berita ini terlalu mengejutkan bagiku. Bunuh diri? Sangat bukan Vira! Aku ingat saat kuliah dulu, Vira adalah sosok yang sangat ceria. Sesedih-sedihnya Vira, gadis itu tidak akan bunuh diri. Aku terpukul oleh kenyataan bahwa Vira sangat menderita dalam pernikahannya terdahulu. Padahal aku selalu menyangka bahwa dia sangat beruntung mendapatkan suami yang tampan dan penuh wibawa.
“Nak Vero bisa ke sini?”
Aku buru-buru menyanggupi permintaan ibu Vira. Oleh karena itu dengan menggunakan kendaraan umum, aku melesat ke rumah sakit tempat Vira terbaring tak berdaya. Saat aku masuk ke dalam kamar Vira, aku melihat ibu Vira sedang duduk di sajadah sembari membelakangiku. Wujudnya berbalut mukena panjang berwarna putih. Kedua telapak tangannya menghadap udara.
“Ya Allah, aku tahu Engkau maha besar, maha empunya segala semesta. Termasuk Vira juga ciptaan-Mu… milik-Mu. Tapi hamba mohon, berikan dia kesempatan untuk sembuh. Dia khilaf ya, Rab. Jangan hukum dia atas kesalahan terburuk yang sudah coba dia lakukan. Jangan ambil nyawanya. Berikan dia kesempatan untuk hidup baru sekali lagi. Berikan dia jodoh yang shalih. Biarlah untuk segala orang yang berlaku jahat kepadanya, Engkau saja yang membalas-Nya.”
Bola mataku tak henti-hentinya mengucurkan air mata saat mendengar suara lirih yang dikumandangkan oleh ibu Vira. Aku masih saja menangis dalam hening saat aku melihat ibu Vira selesai shalat. Wanita itu melipat mukena dan sajadah yang baru saja dipakainya bersujud. Dia menyeka air matanya dengan lengan bajunya.
Masih tak menyadari kehadiranku, wanita itu mendekati ranjang puterinya. Sembari sesenggukan, diciuminya wajah pucat Vira. Dibelai-belainya rambut hitam Vira.
“Jangan menyerah, Nak! Ibu selalu di sini,” bisik ibu Vira dengan nada suara semerdu Adzan.
Baru kali itu aku melihat kasih sayang seorang ibu terpancar begitu kuat memenuhi tiap dinding ruang kamar itu. Spontan saja aku beranjak mendekati ibu Vira. Kupeluk wanita itu dari belakang.
Ibu Vira terkejut. “Loh, kamu udah datang toh Ver?”
Aku mengangguk, namun aku tidak melepaskan pelukanku darinya. Kami sama-sama melepaskan tangis. Tiap deru nafas dan derai air mata kami, berbisik kepada Tuhan untuk kesembuhan Vira.
***
Tiga tahun kemudian aku kembali datang menyambangi rumah Vira. Betapa senangnya aku ketika melihat sosok Vira, suami barunya, dan anak laki-lakinya membuka pintu untuk menyambutku. Sosok Vira yang sekarang sudah terlihat gemuk. Wajah Vira juga terlihat bahagia. Doa ibu Vira benar-benar manjur. Dua jam setelah doa ibu Vira dikumandangkan, Vira siuman, meskipun masih dalam keadaan lemas dan pucat. Kini Vira juga sudah dikaruniai pendamping hidup yang jauh lebih setia dan lebih shalih dibandingkan dengan mantan suaminya.
Aku mengedarkan pandang ke sekeliling rumah Vira. Aku menemukan foto ibu Vira masih tergantung apik di ruang tamu. Sayangnya wanita luar biasa itu telah pergi selama-lamanya. Jika dia masih ada, aku pasti akan memeluknya kembali lalu berkata, “Bu, doamu luar biasa.” ***

Invite my Path:
Veronica Faradilla


No comments:

Post a Comment