JANGAN
MENYERAH, NAK! IBU SELALU DI SINI
OLEH:
@Kerorokitta (Veronica Faradilla)
“Gue udah cerai,
Ver.”
Aku terlonjak mendengar
berita yang dibawakan oleh Vira, sahabatku. “Hah? Cerai?!! Bercanda kali lo!”
Beberapa menit kemudian
aku langsung menutup mulutku karena sadar bahwa suara yang kuhasilkan begitu
nyaring. Untung saja kafe tempat kami berada saat ini sedang lengang. Hanya ada
aku dan Vira di sana. Pagi memang masih mengudara. Belum banyak yang ingin
bercengkrama di kafe yang terletak di sudut kota Jakarta itu.
Aku terpaku menatap
Vira. Aku menyadari bahwa saat ini Vira tidak sedang bercanda. Setelah satu
tahun tidak bertemu, fisik Vira berubah drastis. Vira semakin kurus, dan
wajahnya tirus. Ditambah lagi lingkaran hitam yang menghiasi bagian bawah matanya.
“Gue udah nggak kuat
hidup rasanya. Suami gue selingkuh, padahal lo tahu sendiri kalau pernikahan
gue sama dia baru seumur jagung. Baru dua tahun! Gue nggak nyangka dia setega
itu. Padahal gue udah berusaha ngasih yang terbaik buat dia loh. Gue kerja
mati-matian buat bantuin memenuhi kebutuhan rumah tangga. Gue rawat dia kalau
sakit. Gue dengerin keluh kesahnya. Gue penuhin seluruh kebutuhannya. Gue
turutin semua kemauannya. Tapi begini balasan dia ke gue,” keluh Vira.
Aku hanya diam. Aku
memang tidak mengerti harus berkata apa untuk menghibur Vira. Aku takut, jika
aku salah berkata-kata, kondisi mental Vira akan bertambah buruk, dan dia akan
bertambah sedih. Namun seharusnya aku menghiburnya saat itu. Setidaknya aku
memeluknya sebagai tanda bahwa dia tidak sendirian. Tapi saat itu aku tidak
melakukan apa-apa. Aku hanya membeku. Aku tidak pernah tahu bahwa dia akan
berbuat nekat.
***
Aku masih ingat ketika
sore itu aku harus bergegas ke rumah sakit di daerah Jakarta Selatan. Aku
tembus hujan yang merongrong langit. Aku tidak peduli meskipun keadaanku saat
itu sudah kuyup. Kembali terngiang di benakku ucapan-ucapan tragis yang
meluncur dari bibir tua ibunya Vira.
“Nak Vero, Vira di
rumah sakit. Keadaannya kritis.”
“Loh? Kenapa, Bu? Vira
sakit apa?!” Aku benar-benar terkejut karena kemarin saat bersua denganku, Vira
masih sehat-sehat saja walaupun keadaannya kacau balau.
“Dia berusaha bunuh
diri dengan menenggak racun serangga. Untung Ibu cepat menemukannya. Kalau
nggak, mungkin dia sudah lewat, Nak Ver.”
Aku kembali hening.
Berita ini terlalu mengejutkan bagiku. Bunuh diri? Sangat bukan Vira! Aku ingat
saat kuliah dulu, Vira adalah sosok yang sangat ceria. Sesedih-sedihnya Vira,
gadis itu tidak akan bunuh diri. Aku terpukul oleh kenyataan bahwa Vira sangat
menderita dalam pernikahannya terdahulu. Padahal aku selalu menyangka bahwa dia
sangat beruntung mendapatkan suami yang tampan dan penuh wibawa.
“Nak Vero bisa ke
sini?”
Aku buru-buru
menyanggupi permintaan ibu Vira. Oleh karena itu dengan menggunakan kendaraan
umum, aku melesat ke rumah sakit tempat Vira terbaring tak berdaya. Saat aku
masuk ke dalam kamar Vira, aku melihat ibu Vira sedang duduk di sajadah sembari
membelakangiku. Wujudnya berbalut mukena panjang berwarna putih. Kedua telapak
tangannya menghadap udara.
“Ya Allah, aku tahu
Engkau maha besar, maha empunya segala semesta. Termasuk Vira juga ciptaan-Mu…
milik-Mu. Tapi hamba mohon, berikan dia kesempatan untuk sembuh. Dia khilaf ya, Rab. Jangan hukum dia atas kesalahan terburuk yang sudah coba dia
lakukan. Jangan ambil nyawanya. Berikan dia kesempatan untuk hidup baru sekali
lagi. Berikan dia jodoh yang shalih.
Biarlah untuk segala orang yang berlaku jahat kepadanya, Engkau saja yang
membalas-Nya.”
Bola mataku tak
henti-hentinya mengucurkan air mata saat mendengar suara lirih yang
dikumandangkan oleh ibu Vira. Aku masih saja menangis dalam hening saat aku
melihat ibu Vira selesai shalat.
Wanita itu melipat mukena dan sajadah yang baru saja dipakainya bersujud. Dia
menyeka air matanya dengan lengan bajunya.
Masih tak menyadari
kehadiranku, wanita itu mendekati ranjang puterinya. Sembari sesenggukan,
diciuminya wajah pucat Vira. Dibelai-belainya rambut hitam Vira.
“Jangan menyerah, Nak!
Ibu selalu di sini,” bisik ibu Vira dengan nada suara semerdu Adzan.
Baru kali itu aku
melihat kasih sayang seorang ibu terpancar begitu kuat memenuhi tiap dinding
ruang kamar itu. Spontan saja aku beranjak mendekati ibu Vira. Kupeluk wanita
itu dari belakang.
Ibu Vira terkejut.
“Loh, kamu udah datang toh Ver?”
Aku mengangguk, namun
aku tidak melepaskan pelukanku darinya. Kami sama-sama melepaskan tangis. Tiap
deru nafas dan derai air mata kami, berbisik kepada Tuhan untuk kesembuhan
Vira.
***
Tiga tahun kemudian aku
kembali datang menyambangi rumah Vira. Betapa senangnya aku ketika melihat
sosok Vira, suami barunya, dan anak laki-lakinya membuka pintu untuk
menyambutku. Sosok Vira yang sekarang sudah terlihat gemuk. Wajah Vira juga
terlihat bahagia. Doa ibu Vira benar-benar manjur. Dua jam setelah doa ibu Vira
dikumandangkan, Vira siuman, meskipun masih dalam keadaan lemas dan pucat. Kini
Vira juga sudah dikaruniai pendamping hidup yang jauh lebih setia dan lebih shalih dibandingkan dengan mantan
suaminya.
Aku mengedarkan pandang
ke sekeliling rumah Vira. Aku menemukan foto ibu Vira masih tergantung apik di
ruang tamu. Sayangnya wanita luar biasa itu telah pergi selama-lamanya. Jika
dia masih ada, aku pasti akan memeluknya kembali lalu berkata, “Bu, doamu luar
biasa.” ***
Invite my Path:
Veronica Faradilla
No comments:
Post a Comment