Monday, December 30, 2013

KOMPETISI NULIS KILAT - KERETA HUJAN



KERETA HUJAN
Oleh: Veronica Faradilla (@Kerorokitta)
“Kita putus aja, Airin.” Lelaki bertubuh kurus itu menatapku jemu. Dia merapatkan jaket kulitnya, lalu menunduk, menekuri meja kayu yang memisahkan raga kami. Dua mangkuk bakso yang tersaji di hadapan kami sama sekali tak mampu menghangatkan suasana saat itu. Hujan di luar kedai tak memedulikan kebekuan kami. Mereka terlalu sibuk bercengkrama dengan tanah dan rerumputan.
“Loh, memangnya kenapa Raka?” tanyaku. Jantungku seperti berhenti berdetak. Kepalaku pusing menahan kejutan sore yang disodorkan oleh Raka. Aku kembali meneliti wajah yang sudah mengisi hari-hariku selama dua tahun. Aku tidak pernah menyangka bahwa impianku untuk menikah dengannya harus musnah begitu saja oleh tiga buah kata keramat: Kita Putus Saja. Apa salahku? Apa yang telah aku perbuat? Aku menagih jawab, seperti anak kelaparan yang menagih makanan kepada ibunya.
“Ini adalah keputusan terbaik buat kita,” sahut Raka. “Percaya deh padaku, Rin.”
“Kamu gila ya?!” sentakku. “Coba bilang, terbaik apanya? Terbaik buat kamu?!”
Raka tidak menjawab. Dia menyeruput es jeruknya cepat-cepat. Setelah itu dia kembali melemparkan pandang ke luar kedai.
“Jangan diam aja dong, Raka!” seruku gusar.
“Jadi a-aku harus ngomong apa?” tanya Raka kikuk. Selama dua tahun, dia tidak pernah sekikuk ini. Bahkan sekarang dia tidak berani menatap mataku. Dia seperti sedang berusaha menyembunyikan perasaan frustasinya. Atau mungkin perasaan bersalahnya.
“Jelasin semuanya kenapa kamu minta putus?!”
“Maaf ya, Airin. Aku nggak bakalan ngelupain kamu kok. Aku janji. Kamu tetap yang terindah di hatiku.” Setelah berkata seperti itu, Raka segera membayar seluruh makanan yang kami pesan, lalu meninggalkanku sendirian.
Aku tidak dapat menahannya lagi. Aku hanya dapat memandangi sosoknya yang berlari tergopoh-gopoh menembus hujan. Aku tidak mengerti apa yang sedang dia pikirkan. Aku juga tidak mengerti mengapa dia begitu mudah mengucapkan kalimat perpisahan, setelah dia mati-matian mengikrarkan janji manisnya bahwa dia akan selalu setia kepadaku.
“Dasar pria bermulut besar!” makiku di tengah kesendirianku. Setengah mati aku menahan agar air mataku tidak sampai tumpah. Aku malu jika orang-orang sampai melihatku menangis.
Sebenarnya aku sudah dapat merasakan gejala-gejala perubahan Raka. Raka tidak sehangat dulu. Sejak sebulan lalu, Raka seperti menjauhiku. Aku menjadi sulit bertemu dengannya. Jika kutelepon, Raka juga jarang mengangkatnya. Ada saja alasannya untuk menghindariku. Padahal aku merasa tidak melakukan kesalahan apapun yang membuat Raka harus mengacuhkanku. Aku selalu berusaha melakukan yang terbaik untuknya. Aku selalu menyediakan waktu untuknya. Tapi mengapa dia tidak bisa? Tidak ada pengorbanan yang dia lakukan untukku.
“Raka rese!” umpatku dengan nada suara rendah.
***
Hari-hari di bulan Desember bergulir tanpa henti. Tanpa sadar sudah mendekati akhir bulan. Aku terpaku menatap amplop berwarna merah marun yang tergeletak di meja ruang tamu rumahku. Di sana tertulis Raka dan Rahmi. Ya, sebuah undangan pernikahan. Kini aku menyadari apa yang membuat Raka berubah sedemikian drastis. Semua bukan karena kesalahan yang kuperbuat, namun karena Raka sendiri yang ingin menjauhiku. Raka selingkuh!
Aku jadi ingat ucapan Raka bahwa dia tidak akan pernah melupakanku, dan dia berjanji bahwa aku tetaplah yang terindah untuknya. Aku jadi muak mengingat kata-kata Raka yang munafik. Jika kuacungkan amplop merah marun itu di depan mukanya, dapatkah dia mengulangi perkataan dan janji-janjinya?
“Omong kosong!” ujarku geram.
Raka benar-benar tega. Lebih teganya lagi, dia mengundangku dalam acara pernikahannya dengan selingkuhannya. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu? Dia mengantarkan sendiri undangan itu ke rumahku. Aku masih ingat ketika tadi pagi dia mengetuk-ngetuk pintu rumah.
“Mau apa kamu?” tanyaku ketus, namun senang melihat kehadirannya. Aku yakin dia menyesal telah memutuskanku. Dia pasti akan merajuk untuk meminta balikan. Jika sudah seperti itu, maka aku akan mengangkat dagu di depan mukanya. Aku akan memarahinya terlebih dahulu, baru akhirnya memberikan maaf lalu kembali menjadi pacar Raka.
“Aku harap kamu datang…” Raka menyodorkan undangan itu, “…ke acara pestaku.”
Lututku mendadak lemas. Dengan tangan bergetar aku menerima undangan tersebut. Semuanya di luar dugaanku. Bahkan dalam mimpi-mimpi terburukku, aku belum pernah membayangkan peristiwa ditinggal menikah oleh mantan.
“Permisi, Airin.” Tanpa basa-basi Raka segera bergegas meninggalkan rumahku.
 Aku sudah hilang akal sehat. Aku membenci Raka! Benar-benar membenci laki-laki tak berperasaan itu! Aku ingin pergi menjauhinya sejauh-jauhnya. Aku tidak sudi lagi menghirup udara yang sama di kota hujan ini. Aku ingin cepat-cepat meninggalkan Bogor.
***
Aku memandang ke luar jendela kereta. Hujan menderas dan bulir-bulir airnya kembali membentuk jalur ke dataran rendah. Ada juga yang bersekutu membentuk genangan. Hatiku ikut hujan, membuat suasana di dalam kereta ini kian muram. Mungkin sebentar lagi kereta ini akan ikut hujan: hujan air mata kesedihanku.
Aku merapatkan jaketku, menahan diri dari gigil yang kian menggigit. Sebuah ransel berisi setumpuk pakaian sudah terbaring apik di pangkuanku. Beberapa menit lagi aku akan pergi meninggalkan kota ini menuju Jogjakarta. Tahun baru yang sendu sudah menantiku dengan sabar di sana. Setidaknya aku akan merayakan tahun baru di tempat yang berbeda, sehingga kemungkinan bertemu Raka dan calon istrinya hampir tidak ada. Aku tidak mau melihat wajah Raka yang tersenyum bahagia.
“Maaf, ini benar 7 C ya? Kursiku kan?” tanya seseorang.
Spontan saja aku menoleh menatap orang yang bertanya tersebut. Seorang laki-laki cepak berusia sekitar 25 tahun menatapku sembari mengangkat dagu. Telunjuknya menunjuk kursi kosong di sampingku. Gayanya cuek. Dia hanya mengenakan kaos polos berwarna merah marun, celana baggy berwarna hitam, dan sepatu sandal berwarna senada dengan celananya. Di dadanya tergantung kamera DSLR merk ternama.
Huh, sekarang aku benar-benar membenci warna merah marun karena mengingatkanku akan warna kartu undangan Raka. Mengapa sih pemuda ini harus memilih warna merah marun dari sekian banyak warna yang ada di muka bumi?
“Hei kamu, ini 7 C kan?” tanya pemuda itu lagi, memecah lamunanku. Aku gelagapan. Dia pasti heran melihatku terbengong-bengong seperti itu. Atau mungkin saja pemuda itu menjadi kepedean. Jangan sampai deh! Jangan sampai juga pemuda ini mengira bahwa aku adalah gadis dungu yang hobinya melongo.
“Iya, ini 7 C!” sahutku acuh.
“Jawab dong dari tadi. Kayak nggak punya mulut aja sih,” tukas pemuda itu ketus. Dia segera menjatuhkan pantatnya di sebelahku.
Aku meliriknya dengan kesal, lalu mulai membatin. Apa-apaan sih pemuda ini. Bukannya mengucapkan terima kasih untuk sekedar berbasa-basi, eh malah mengomeliku. Memangnya siapa sih dia? Orang penting? Pejabat? Kepala pemerintahan?Atau presiden?
Pemuda itu mulai sibuk dengan dunianya sendiri. Setelah memasang headset, dia asyik melihat-lihat foto di kameranya. Mata pemuda itu tidak lepas dari layar kameranya. Aku yakin jika kereta ini masuk jurang sekalipun, dia tidak akan sadar.
Aku kembali melirik ke arah benda di tangan pemuda itu. Aku sempat melihat foto perempuan sedang tersenyum di kameranya. Berikutnya aku melihat foto sepasang pengantin dengan aneka gaya. Aku menilai bahwa orang di sampingku ini adalah seorang yang berprofesi sebagai fotografer pernikahan. Foto-foto yang dia ambil terlihat sangat professional. Mudah-mudahan saja dia bukan fotografernya Raka. Jika iya, maka dunia sempit sekali.
Aku kembali terhanyut dalam lamunanku tentang Raka, si pemuda kurus yang dalam beberapa hari lagi akan menjadi milik orang lain. Aku ingin melupakannya. Menghapusnya dari memory dan menganggapnya tidak ada.
“Selamat tinggal, Raka. Selamat bersenang-senang dengan selingkuhanmu. Semoga Tuhan saja yang membalas pengkhianatan yang udah kamu lakukan.”
 Tak lama kemudian aku tertidur. Perlahan-lahan kereta mulai meninggalkan stasiun Pasar Senen. Delapan jam perjalanan akan segera kutempuh. Mudah-mudahan saja aku tidak merasa jenuh, apalagi duduk di samping pemuda sombong ini. Kejenuhanku mudah-mudahan tidak bertambah seribu kali lipat.
***
Aku terbangun ketika laju kereta sudah mulai melambat. Beberapa penumpang sudah mulai ribut membereskan barang-barang bawaan mereka masing-masing. Beberapa orang yang berbicara dalam logat bahasa Jawa juga berhasil membuatku membuka mata lebar-lebar.
Aku celingak-celinguk. Aku melihat kereta sudah memasuki stasiun Jogjakarta. Rupanya sudah sampai. Hebat juga rasanya dapat tidur selama delapan jam tanpa terbangun sedikit pun. Seperti kena bius saja. Ah, mungkin saja hal ini dikarenakan pelampiasan setelah beberapa hari tidak dapat tidur nyenyak. Belakangan ini aku memang terlalu sibuk memikirkan dan menangisi Raka hingga larut malam.
Aku  menguap dan mencoba untuk meregangkan otot-ototku. Namun aku sempat heran ketika gerakanku tertahan dan bahu sebelah kananku terasa berat. Ketika aku menoleh, aku sangat terkejut. Aku melihat pemuda fotografer itu sedang menyenderkan kepalanya di bahuku dan tertidur pulas. Aku juga melihat air liurnya menetes ke bahuku.
“Aduuh, apa-apaan sih?!” seruku marah. Aku mengguncang-guncangkan bahuku, berharap agar dia segera bangun.
Berhasil. Dia mengangkat kepalanya lalu mengucek-ucek matanya. “Gempa ya?”
“Gempa kepalamu?! Tidurnya sembarangan banget sih?! Mana pakai ngiler pula!” omelku sembari menatap jijik ke bahuku yang kini terasa basah dan hangat.
Pemuda itu sama sekali tidak memedulikan omelan-omelanku. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Dalam beberapa detik dia sudah berhasil mengumpulkan nyawa dan sadar akan keadaan di sekelilingnya. “Oh sudah sampai di Jogjakarta toh!”
Pemuda itu mengusap-usap wajahnya, merapikan kaos yang dikenakannya, mengecek barang-barang bawaannya, lalu melompat meninggalkan bangku kereta. Dia buru-buru keluar dari kereta. Dia sama sekali tidak berniat meminta maaf padaku.
Aku mengerutkan kening. “Dasar pemuda aneh bin sinting! Mimpi apa sih aku semalam bisa ketemu orang nyebelin tingkat dewa kayak gitu!”
Pemuda itu sudah membuat hujan di dalam kereta, tepatnya di atas bahuku. Ugh, aku harus cepat-cepat ganti baju, kalau tidak kulitku pasti akan membusuk.
***
31 Desember. Malioboro, Jogjakarta
Aku melirik jam tanganku. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, namun Malioboro tidak menunjukkan tanda-tanda akan sepi. Ratusan orang, tua, muda, serta anak-anak berbondong-bondong datang memenuhi area Malioboro, membuat arus kendaraan di sana menjadi macet total. Keriuhan membumbung di udara. Semuanya terdengar dari klakson mobil yang memekakkan telinga, bunyi terompet yang bersahut-sahutan, tawa yang berkumandang, serta lalu lalang orang yang memadati area perbelanjaan di sana. Food court, fast food, penjual-penjual souvenir, toko kerajinan tangan, toko pakaian, serta Mall Malioboro penuh sesak oleh pengunjung dari dalam maupun luar kota. Tidak sedikit pula turis-turis asing yang ikut berpartisipasi menikmati perayaan akhir tahun di Malioboro.
 Tidak kurang dari lima jam lagi, Indonesia akan merayakan pergantian tahun. Semuanya dipersiapkan dengan meriah. Panggung-panggung besar lengkap dengan speaker dan lampu panggung sudah disiapkan di beberapa titik di kawasan Malioboro. Ratusan kilogram kembang api juga sudah disiapkan. Seniman-seniman jalanan tidak mau kalah. Mereka juga ikut berkumpul, menyemarakkan suasana menjelang tahun baru. Mereka asyik memainkan gitar akustik sembari bernyanyi lagu dalam bahasa Jawa. Demi menambah ke-khas-an penampilan mereka, tidak sedikit pula yang mengenakan batik serta blankon.
Aku duduk di fast food lantai dua, sehingga aku dapat menikmati keramaian jalan Malioboro dari atas. Aku menyesap kopi capuccino hangatku, lalu memejamkan mata. Di tengah kesibukan dan di tengah orang-orang yang asyik berbagi kasih dengan orang-orang tersayang, aku malah sendirian. Ironis.
KLIK. Tiba-tiba cahaya silau menyirami wajahku. Aku terkejut. Aku membuka mata lalu menoleh ke arah sumber cahaya. Astaga, ternyata si fotografer congkak di kereta hujan! Kali ini dia mengenakan kaos berwarna hitam dan celana jeans abu-abu. Warna bajunya seakan-akan mengejekku yang saat ini tengah berduka menangisi cinta yang telah wafat.
“Eh, ngapain lo motret-motret gue tanpa izin?!” seruku meradang.
“Lo gadis yang di kereta kan?” tanya pemuda itu. “Kebetulan banget ya kita bisa ketemu di sini.”
Aku membuang muka acuh. Aku sudah terlanjur kesal dengannya sehingga aku tidak mau berbincang mengenai apapun dengannya. Bagaimana mungkin aku bisa bertemu lagi dengannya? Jogja kan luas. Kebetulan yang menyebalkan.
“Kenalin, nama gue Martin. Nama lo siapa sih?”
Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Aku masih mendiamkannya. Aku tidak berniat berbasa-basi dengan Mar… Mar… Ah entah siapa itu namanya.
“Sombong banget sih lo! Memangnya susah banget ya memperkenalkan diri?” keluh Martin. Tanpa malu-malu dia duduk di hadapanku, bertopang dagu lalu menatapku.
“Memangnya lo sendiri nggak sombong? Sama aja kan?” sahutku cepat.
Martin mengangkat kedua alisnya tinggi - tinggi. “Gue sombong sama lo? Kapan?”
Aku mengangkat bahu. “Mikir aja sendiri!”
Martin tertawa renyah, membuatku mau tak mau mengalihkan perhatian kepadanya. Aku merasa bahwa Martin yang sekarang jauh lebih ramah dibandingkan dengan tadi. Aku jadi luluh juga melihat sikapnya.
Sorry lah ya. Mungkin tadi gue panik, jadinya malah nggak sopan deh sama lo. Soalnya itu pertama kalinya gue naik kereta, jadi agak sedikit bingung. Pas gue nanya, eh lo malah bengong. Kesal banget dong jadinya.” Martin mengaku dosa di hadapanku. Wajahnya yang polos dan tingkahnya yang lugu akhirnya membangkitkan simpatiku kepadanya.
“Ya udah, nggak apa-apa deh,” sahutku.
Martin tersenyum. “Jadi boleh dong gue tahu nama lo?”
Aku mengangguk. “Nama gue Airin.”
“Lo sendirian ke sini, Rin?” tanya Martin.
“Lo juga kan?” Aku balik bertanya.
“Ya, solo backpacker. Memangnya lo tipe orang yang suka jalan-jalan sendirian juga ya?”
Aku tertawa. “Maybe yes, maybe not. Tapi yang pasti gue bukan tipe orang yang seberani elo lah buat jalan-jalan sendirian gitu.”
“Gue juga nggak mau sih jalan-jalan sendirian. Gue cuma lagi menghindar aja.”
“Menghindar dari siapa?”
“Mantan gue. Dia nikah kemarin,” ujar Martin.
Aku terhenyak. Kisah Martin rupanya sama denganku. Aku dapat mengerti bagaimana rasanya ditinggal menikah oleh seseorang yang sangat dicintai.
“Parahnya, dia nyewa gue sebagai fotografer untuk acara wedding-nya dengan alasan dia nggak punya kenalan fotografer selain gue. Sakit nggak tuh?”
“Oh! Jangan – jangan foto pengantin yang ada di  kamera lo itu mantan lo ya?!” tembakku to the point.
“Kok lo tahu?” Martin menatapku heran.
Aku menutup mulutku. Aku keceplosan. Secara tidak langsung aku mengakui bahwa aku mengintip isi kameranya sewaktu di kereta. Namun untungnya, Martin tidak mempermasalahkan soal itu.
“Ya begitulah. Makanya gue lari ke sini. Gue memang cowok pengecut. Nggak berani menghadapi masalah.”
“Lagian ngapain banget sih lo nerima job dari mantan lo? Kayak kurang kerjaan aja!”
Martin tertawa pahit, lalu mengangkat bahu seakan-akan tidak mengerti akan kebodohannya sendiri. “Mungkin karena gue penasaran mau lihat dia pakai gaun pengantin….”
Ucapannya membuatku terdiam.
“Oke, cukup tentang gue. Sekarang cerita, ngapain lo ke Jogja sendirian? Bukannya lebih asyik ngerayain tahun baru bareng keluarga?”
Aku menunduk. “Semua ada latar belakangnya. Gue nggak kalah pengecutnya jika dibandingkan dengan elo.”
“Kenapa memangnya?”
“Gue juga melarikan diri dari Bogor. Gue nggak mau menyaksikan mantan gue menikah dan berbahagia bersama orang yang bukan gue.”
Martin tertawa, “Nasib kita sama toh! Ya udahlah, kita refreshing aja yuk! Daripada kita karatan di sini mikirin mantan, mending kita senang-senang!”
Aku menurut. Martin mengajakku menembus kepadatan di jalan Malioboro. Aku melirik ke sisi kanan dan kiri jalan. Tidak ada satu space pun yang kosong. Semuanya penuh sesak oleh manusia. Apalagi ketika panggung-panggung besar mulai hidup. Acara-acara dimulai. Beberapa artis ibukota yang diundang ke Jogjakarta untuk mengisi acara kini sedang sibuk menyapa para penonton. Martin memuaskan hobinya memotret keramaian, sedangkan aku asyik menikmati lagu-lagu yang dibawakan oleh para diva.
“Kita jalan-jalan ke tempat lain yuk!” ajak Martin.
“Kemana?”
Martin tidak menjawab. Dia menghampiri andong yang berjejer rapi di tepi jalan Malioboro. Sedangkan aku hanya mengekorinya.
Mas, nek ajeng teng alun-alun pinten (Mas, ke alun-alun berapa)?” tanya Martin.
Satus sewu mawon (Seratus ribu saja).”
Larange, Mas. Mbok di kurangi regane sekedik (Mahal sekali, Mas. Dikurangin sedikit dong).”
Pun sasetu niku pun murah (Itu pun sudah murah).”
Martin terlihat berpikir sejenak. “Nggih pun sios (Ya udah deh oke).”
Kami berdua segera naik andong. Sebenarnya aku kasihan melihat sang kuda harus menarik kereta seberat itu, namun aku tidak enak kepada Martin jika menolak ajakannya. Tak berapa lama, kereta kuda yang kami tumpangi pun melaju. Bunyi tapak kaki kuda mengiringi perjalanan kami.
“Lo ngerti bahasa Jawa toh?” tanyaku.
Martin mengangguk, lalu berbisik, “Biar dapat harga murah, di sini harus nawar pake bahasa Jawa. Biasanya sih nggak semahal tadi. Tapi ya udahlah, ini kan lagi high season. Semuanya serba mahal.”
 Setelah itu perjalanan kami dilanjutkan dengan hening karena Martin kembali asyik memotret pemandangan dari atas andong. Lima belas menit kemudian, aku dan Martin sudah sampai di Alun-Alun, sebuah tempat hiburan yang terkenal dengan beringin kembarnya. Sepeda-sepeda kayuh dengan lampu warna-warni memenuhi jalan di sekitar alun-alun. Kami merasa seperti sedang berada di sebuah acara festival.
“Mau naik itu nggak?” tanya Martin.
Aku menggeleng. Aku memang tidak tertarik naik kendaraan kayuh seperti itu.
“Kenapa? Kan seru!” ujar Martin.
“Gue laper, tahu!” tukasku.
Martin tertawa. Dia segera mengajakku ke area tempat makan yang ada di sana.
Dahar mriki mawon, Mas! Murah wis saestu (Makan di sini saja Mas! Murah kok)!” Seorang penjual sibuk memanggil-manggil kami, berharap agar kami mau memanjakan lidah di tempat makan miliknya.
Aku dan Martin saling berpandangan. Martin memberiku isyarat untuk makan malam di sana. Aku setuju saja. Kami berdua pun duduk lesehan di tempat yang sudah disediakan.
Ajang pesen nopo niki, Mas (Mau pesan apa, Mas)?” tanya si penjual sembari menyodorkan menu.
Roti bakare kaleh (Roti bakarnya dua),” ujar Martin.
Sang penjual segera mencatat pesanan kami, lalu memohon diri. Sepeninggal sang penjual, aku dan Martin kembali bercengkrama mengenai kehidupan pribadi. Kami juga menceritakan mengenai mantan masing-masing. Aku heran, bagaimana mungkin aku dapat mencurahkan seluruh isi hati dan pikiranku kepada orang asing yang baru kutemui hari ini. Aku tahu bahwa Martin juga merasakan keheranan yang sama.
Obrolan kami terpecah oleh si penjual yang rupanya sudah selesai membuat pesanan kami.
Martin menatapku penuh arti lalu memberikan roti bakar tersebut kepadaku, “Niki roti bakar kagem sampeyan. Kangge ngobati pun ati (Ini roti bakar buatmu. Untuk mengobati hati).”
“Apa tuh artinya?” tanyaku.
Martin tertawa. Dia enggan menjawab pertanyaanku.
“Eh, ngeledek ya? Kasih tahu dong!” Aku mencubit lengan Martin.
Martin kembali tertawa. Rupanya dia sama sekali tidak mau memberitahu makna dari perkataannya. Saat kami asyik menikati sensasi hangat dan manisnya roti bakar yang menari-nari di lidah kami, kami melihat letusan kembang api warna-warni memenuhi langit. Suasana menjadi sangat riuh oleh sorakan dan tepuk tangan. Aku melirik jam tanganku. Rupanya waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam lebih satu menit. Tahun telah berganti tanpa kusadari. Aku terlalu asyik menikmati suasana bersama Martin.
Aku dan Martin berpandangan, lalu kami saling mengucap, “Happy new year. Hope our wish comes true.”
Saat kami selesai berkata, aku pun melanjutkan perkataanku seorang diri, “Semoga di tahun depan aku tidak naik kereta hujan lagi. Aku mau naik kereta yang dihiasi pelangi. Amin.”
Martin tersenyum, dan… KLIK! Dia mengambil gambarku sekali lagi.
Saat aku memelototinya karena dia kembali memotretku tanpa izin, Martin hanya menjawab santai, “Buat kenang-kenangan. Tahun depan aku berharap dapat memotretmu di atas kereta berhiaskan pelangi.”
***
Aku mengepak pakaianku satu persatu untuk kumasukkan ke dalam ransel. Petualanganku selama seminggu di Jogja cukup berkesan. Aku tidak pernah bertemu Martin lagi, karena setelah selesai perayaan tahun baru itu, Martin seperti hilang ditelan bumi. Bodohnya, kami tidak saling bertukar nomor telepon sehingga kami tidak dapat menghubungi satu sama lain. Namun untungnya aku sudah menyelipkan surat di saku celananya saat kami berdua pulang dari Alun-Alun.
To: Pemuda di Kereta Hujan.
Kita bertemu di kereta pada sebuah momen yang tidak pernah kita tahu bahwa itu akan terjadi. Kita sama-sama lari dari cinta yang meninggalkan kita. Namun pertemuan dengan sosok lo membuat gue sadar bahwa setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Begitu pula setiap ada perpisahan, pasti ada pertemuan dengan orang baru. Tidak ada yang perlu ditangisi terlalu lama. Terima kasih untuk roti bakar pengobat hati yang sudah lo kasih. Lo berhasil membuat hati gue menjadi jauh lebih baik.
Sehari bersama lo rupanya jauh lebih indah daripada dua tahun bersama Raka. Semoga suatu saat, setelah masing-masing dari kita berhasil move on, kita diizinkan untuk bertemu kembali ya, pemuda kereta.
                       ***
Aku menyusuri jalan Sosrowijayan menuju Stasiun Jogjakarta. Barisan hotel-hotel, restoran, minimarket, dan bar mengiringi langkahku. Aku akan naik kereta pukul enam sore menuju stasiun Pasar Senen, lalu akan melanjutkan perjalanan menuju Bogor. Aku sudah menetapkan hati bahwa aku tidak akan lari lagi dari masalah.
Tak lama aku menunggu, keretaku datang memasuki stasiun. Aku segera masuk ke dalam kereta, lalu duduk pada bangku yang sesuai dengan nomor pada tiketku. Aku melemparkan pandangan ke luar jendela.
“Sorry, ini nomor 7 C bukan?” tanya seseorang.
Aku terkesiap, lalu segera menoleh ke arah sumber suara. ***