Friday, September 12, 2014

PEMIMPI SUBUH



PEMIMPI SUBUH
Oleh: Veronica Faradilla
            “Wanita berkimono itu mati di tengah kota yang kita sebut kota metropolitan!” seru Ayah dengan nada menghakimi ketika dia membuka surat kabar pagi.
 Aku yang baru terbangun dari tidur segera merebut koran di tangan Ayah. Entah apa yang ada di pikiranku kala itu, tetapi aku mengkhawatirkan sesuatu. Khawatir mengenai mimpi-mimpi yang selalu mengganggu tidurku belakangan ini. Bayangan-bayangan puluhan orang yang mengacungkan parang masih menghuni seluruh otakku. Lidah api yang menari-nari di tengah subuh sibuk menjilati setiap sentimeter dinding lalu melahapnya habis. Gerimis belum mampu membunuh si jago merah. Di sana ratapan dan tangis pemilik rumah adalah sebuah berita basi. Kini tergantikan dengan sebuah headline surat kabar yang menyatakan bahwa wanita berkimono mati dilindas truk barang.
Seperti hikayat malaikat yang selalu mendoakan yang baik, begitu pun aku. Aku tak biasa berdoa. Aku ingin yang baik-baik saja yang terjadi padanya.      Pernah kuutarakan bahwa aku ingin berangkat memperjuangkan nasib ke negeri seberang, negeri Jepang. Ayah begitu melecehkan mimpiku. Mungkin karena dia menyimpan trauma karena masa penjajahan. Romusha. Tetapi sudahlah, mengungkit hal itu akan membuatku terlihat rasis. Tak ada yang kubela dalam permasalahan ini. Rasa nasionalismeku pun belum mati.
            Sementara itu dari balik kaca jendela dapur, mataku nanar menatap langit yang mendung. Awan hitam seperti menggelayut di ujung kota tempat kelahiranku, tersembunyi di balik gedung-gedung pencakat langit. Bulan – bulan yang bersisian dengan bulan November adalah bulan kelabu. Di mana banyak tangis yang pecah dan bercampur dengan air hujan.
 Tepat setahun yang lalu di bengkel itu aku berkenalan dengan seorang wanita yang kukenal bernama Keiko. Dia terlihat lusuh dengan baju abu-abu kedodoran yang menempel di tubuhnya. Baju itu  tak bersih, melainkan penuh bercak oli. Itulah resiko kerja di bengkel. Padahal dia cantik sekali. Kulitnya putih bersih, dengan mata sipit khas orang Jepang. Ya, memang dia orang Jepang asli, yang numpang hidup di kotaku, kota Jakarta. Ternyata Jakarta mempunyai magnet yang besar. Yang menarik setiap orang untuk mencari nafkah di sini. Bukan hanya penduduk pulau lain, bahkan dari negeri lain.
            “Sudah lama kau menunggu di sini?” tanyaku kepada Keiko.
            Keiko memiringkan kepalanya lalu tersenyum. Keiko terlihat cantik hari ini, dengan kaus bunga-bunga berwarna biru. Berbeda denganku yang hanya mengenakan kaus oblong putih berlapis jaket khas preman. Untunglah, wajahku tak mendukung untuk jadi preman. Kata ayahku wajahku ini baby face.
            “Cakep lah kau!” Ucapan ayah terngiang-ngiang membuatku tersenyum, Tentu saja ayahku memuji anaknya sendiri. Kalau anaknya cakep, ya sudah tentu karena keturunannya. Itu artinya ayahnya juga cakep. Suatu kesimpulan yang ngalor ngidul, sontoloyo, pikirku dengan senyum terkembang.
            Lalu pikiranku kembali kepada Keiko.
            “Apakah aku seperti preman?” tanyaku kepada gadisku itu.
            “Ya,” ujar Keiko. Aku dan dia tertawa bersama.
 Sebenarnya Keiko tak terlalu fasih mengucapkan bahasa Indonesia, namun aku dengan setia mengajarkannya. Begitu pun sebaliknya. Lalu cinta tumbuh di hatiku, membuat peristiwa berkembang menjadi seperti ini. Aku kencan dengannya, duduk berdua dengannya di kursi taman.
            Aku seperti anak ingusan yang baru belajar pacaran. Bahkan tak kutawari Keiko untuk makan siang denganku, atau apapun itu yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang berpacaran. Aku terlalu gugup. Aku melupakan usiaku sesungguhnya yang sebenarnya sudah 34 tahun.
            “Mau ma..kan? kamu mau makan? Tabetai…mau makan,” ujar Keiko terbata-bata.
            Aku tersenyum. Gaya bicaranya seperti robot. Aku berdiri lalu menggandeng tangan Keiko, menuju sebuah restoran Jepang. Aku ingin membuatnya merasa betah, seperti di negerinya sendiri. Mungkin saja masakan Jepang yang dimasak oleh koki Indonesia ini dapat memuaskan rasa kangen di lidah Keiko.
            Keiko memakan dengan lahap sushi yang terhidang di hadapannya. Sebentar-sebentar aku berusaha melirik isi dompetku. Sushi memang mahal dan tak mengenyangkan. Jadi tak mungkin hanya pesan satu porsi. Keiko saja sudah menghabiskan tiga piring, sedangkan aku baru dua buah.
            “Enak?” tanyaku ragu-ragu.
            Keiko mengacungkan ibu jarinya kepadaku sembari tersenyum manis. Hatiku menjadi deg-degan. Aku mencintainya. Kelak aku akan melamarnya, dan tentu saja aku akan memperjuangkannya mati-matian.
***
            Aku tertegun melihat rumah Keiko di daerah Jakarta Selatan ludes dilalap api. Kata penduduk sekitar, rumah ini habis jadi korban rasis. Satu kelompok tertentu datang dengan parang dan celurit yang diacungkan tinggi-tinggi. Padahal dua hari yang lalu Keiko baru saja memberiku senyuman manis sembari mengacungkan ibu jari. Kini malah dia dan keluarganya diacungi celurit.
 Kemudian tetangga Keiko mengatakan bahwa seorang laki-laki yang merupakan pemimpin dari kelompok itu langsung menuangkan bensin, lalu melemparkan korek api sehingga rumah Keiko langsung terbakar.
            Tanpa sadar air mataku tumpah. Aku dapat membayangkan kejadian itu. Pastilah suasana subuh itu begitu mencekam. Aku dapat membayangkan wajah gadisku panik sambil menangis minta tolong. Namun tak ada yang berani menolongnya.
Saat mengedarkan pandangan, aku melihat sebuah bendera Jepang setengah terbakar sedang berkibar-kibar dipermainkan angin. Sayup-sayup aku dengar beberapa penduduk berteriak-teriak.
            “Ini Indonesia, bung! Merdeka!” seru mereka serentak tanpa dikomando.
            Aku jatuh berlutut. Ya, ini Indonesia. Tapi Keiko tidak bermaksud untuk menjajah, apalagi membuka luka masa lalu. Dia ke sini untuk mencari nafkah, bekerja dengan halal, dan berusaha berbaur.
            Sejak hari itu aku kehilangan jejak Keiko sama sekali. Aku mencari di setiap sudut kota. Aku merasa harus meminta maaf, meskipun aku tidak ikut membakar rumahnya. Namun aku merasa wajib untuk ikut meminta maaf karena tak dapat melindunginya.
            Setahun aku berkelana tanpa hasil. Aku mengambil kesimpulan bahwa Keiko telah kembali pulang ke negara asalnya, bersama keluarganya. Meskipun tak pasti, tapi aku harus memastikannya. Bukankah manusia hidup untuk selalu memastikan? Memastikan bahwa dia mempunyai tujuan hidup? Keiko adalah tujuan hidupku.
            “Bodoh sekali lah kau! Keiko itu sudah mati. Tidak kau lihat koran itu rupanya? Apa terlalu budek telingamu?” tanya ayahku.
Aku memejamkan mata, menahan segala amarah yang selama ini subur kupendam. Mati katanya? Aku tak mau mempercayai berita di koran. Keiko tak mungkin meninggal. Bukankah banyak wanita-wanita berkimono di Indonesia? Orang Indonesia kadang juga mengenakan kimono, selain batik, atau pakaian adat. Itu bukan Keiko yang terlindas truk di tengah jalan raya. Lagipula untuk apa dia memakai kimono lalu jalan-jalan di tengah kota? Mau memancing rasisme lagi? Mau memancing bakar-bakaran lagi? Atau mau dianggap gendeng, tidak waras?
Begitu inginkah ayahku mendengar Keiko telah meninggal? Padahal Keiko tak pernah melakukan apapun yang merugikan ayahku. Berkenalan pun juga belum pernah.
            “Sudahlah, kau cari gadis-gadis di kota ini saja! Tak usah sok berlabel luar negeri kau! Tak pantas tampangmu itu” ujar ayahku.
            Aku tak peduli. Aku laki-laki. Aku memang harus mandiri, dan menentukan jalan hidupku sendiri tanpa campur tangan siapa pun, termasuk ayahku. Durhakakah aku? Namun aku tetap mengepak barang-barangku dalam sebuah koper besar. Sudah kukumpulkan seluruh uang tabunganku, dan sebagian telah kutukar menjadi Yen, mata uang Jepang. Semuanya telah kusiapkan tinggal berangkat saja. Awalnya aku tak tahu kemana harus pergi. Jepang sangatlah luas, bukan sebesar daun kelor. Tetapi aku mengikuti instingku saja. Aku akan terbang ke Tokyo.
            Subuh itu aku pun berpamitan pada ayahku, siap menjemput mimpiku, meski aku tak tahu dimana sebenarnya gadisku itu. Ayahku hanya dapat menarik nafas pasrah, “Kalau kau jadi gembel di sana lebih baik kau pulang saja. Tak usahlah kau paksakan dirimu itu. Masih banyak wanita. Jangan membuat dirimu sendiri menderita atas sebuah cinta monyet.”
            Aku mengangguk, namun dalam hati aku yakin ini bukan cinta monyet, cinta kera, ataupun cinta lutung. Ini adalah cinta manusia dewasa. Aku berlalu dengan naik taksi. Aku harus mengejar pesawatku pukul setengah delapan pagi. Siang hari setelah keberangkatanku, sebuah surat berstempel Jepang tiba di rumahku. Dengan penasaran ayahku membuka surat tersebut.
            “Ardana, aku di Tokyo. Aitai…. I will give you my address. I miss you and want to meet you so bad. I hope someday you will come to Japan. Do you have girlfriend there? I hope not. Because i’m still your girlfriend, right? Ha…ha…ha.
            Anata no Keiko.
            Ayahku meletakkan surat itu di sampingnya. Air mata jatuh ke pipinya. Dia seakan baru tersadar bahwa kedua muda-mudi ini saling mencintai. Keiko bahkan tak menaruh dendam padahal rumahnya telah dibakar oleh massa. Aku belum melupakannya. Dia tetap setia menantiku, yang berlabel orang Indonesia. Lalu ayah mengambil handphone, berniat meneleponku. ***


INVITE MY PATH:
Veronica Faradilla









No comments:

Post a Comment