KERETA HUJAN
Oleh:
Veronica Faradilla (@Kerorokitta)
“Kita putus aja,
Airin.” Lelaki bertubuh kurus itu menatapku jemu. Dia merapatkan jaket
kulitnya, lalu menunduk, menekuri meja kayu yang memisahkan raga kami. Dua
mangkuk bakso yang tersaji di hadapan kami sama sekali tak mampu menghangatkan
suasana saat itu. Hujan di luar kedai tak memedulikan kebekuan kami. Mereka
terlalu sibuk bercengkrama dengan tanah dan rerumputan.
“Loh, memangnya kenapa
Raka?” tanyaku. Jantungku seperti berhenti berdetak. Kepalaku pusing menahan kejutan
sore yang disodorkan oleh Raka. Aku kembali meneliti wajah yang sudah mengisi
hari-hariku selama dua tahun. Aku tidak pernah menyangka bahwa impianku untuk
menikah dengannya harus musnah begitu saja oleh tiga buah kata keramat: Kita
Putus Saja. Apa salahku? Apa yang telah aku perbuat? Aku menagih jawab, seperti
anak kelaparan yang menagih makanan kepada ibunya.
“Ini adalah keputusan
terbaik buat kita,” sahut Raka. “Percaya deh padaku, Rin.”
“Kamu gila ya?!”
sentakku. “Coba bilang, terbaik apanya? Terbaik buat kamu?!”
Raka tidak menjawab.
Dia menyeruput es jeruknya cepat-cepat. Setelah itu dia kembali melemparkan
pandang ke luar kedai.
“Jangan diam aja dong,
Raka!” seruku gusar.
“Jadi a-aku harus
ngomong apa?” tanya Raka kikuk. Selama dua tahun, dia tidak pernah sekikuk ini.
Bahkan sekarang dia tidak berani menatap mataku. Dia seperti sedang berusaha
menyembunyikan perasaan frustasinya. Atau mungkin perasaan bersalahnya.
“Jelasin semuanya
kenapa kamu minta putus?!”
“Maaf ya, Airin. Aku
nggak bakalan ngelupain kamu kok. Aku janji. Kamu tetap yang terindah di
hatiku.” Setelah berkata seperti itu, Raka segera membayar seluruh makanan yang
kami pesan, lalu meninggalkanku sendirian.
Aku tidak dapat
menahannya lagi. Aku hanya dapat memandangi sosoknya yang berlari tergopoh-gopoh
menembus hujan. Aku tidak mengerti apa yang sedang dia pikirkan. Aku juga tidak
mengerti mengapa dia begitu mudah mengucapkan kalimat perpisahan, setelah dia
mati-matian mengikrarkan janji manisnya bahwa dia akan selalu setia kepadaku.
“Dasar pria bermulut
besar!” makiku di tengah kesendirianku. Setengah mati aku menahan agar air
mataku tidak sampai tumpah. Aku malu jika orang-orang sampai melihatku
menangis.
Sebenarnya aku sudah
dapat merasakan gejala-gejala perubahan Raka. Raka tidak sehangat dulu. Sejak
sebulan lalu, Raka seperti menjauhiku. Aku menjadi sulit bertemu dengannya.
Jika kutelepon, Raka juga jarang mengangkatnya. Ada saja alasannya untuk
menghindariku. Padahal aku merasa tidak melakukan kesalahan apapun yang membuat
Raka harus mengacuhkanku. Aku selalu berusaha melakukan yang terbaik untuknya.
Aku selalu menyediakan waktu untuknya. Tapi mengapa dia tidak bisa? Tidak ada
pengorbanan yang dia lakukan untukku.
“Raka rese!” umpatku
dengan nada suara rendah.
***
Hari-hari di bulan
Desember bergulir tanpa henti. Tanpa sadar sudah mendekati akhir bulan. Aku
terpaku menatap amplop berwarna merah marun yang tergeletak di meja ruang tamu
rumahku. Di sana tertulis Raka dan Rahmi. Ya, sebuah undangan pernikahan. Kini
aku menyadari apa yang membuat Raka berubah sedemikian drastis. Semua bukan
karena kesalahan yang kuperbuat, namun karena Raka sendiri yang ingin
menjauhiku. Raka selingkuh!
Aku jadi ingat ucapan
Raka bahwa dia tidak akan pernah melupakanku, dan dia berjanji bahwa aku tetaplah
yang terindah untuknya. Aku jadi muak mengingat kata-kata Raka yang munafik.
Jika kuacungkan amplop merah marun itu di depan mukanya, dapatkah dia mengulangi
perkataan dan janji-janjinya?
“Omong kosong!” ujarku
geram.
Raka benar-benar tega.
Lebih teganya lagi, dia mengundangku dalam acara pernikahannya dengan
selingkuhannya. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu? Dia mengantarkan
sendiri undangan itu ke rumahku. Aku masih ingat ketika tadi pagi dia
mengetuk-ngetuk pintu rumah.
“Mau apa kamu?” tanyaku
ketus, namun senang melihat kehadirannya. Aku yakin dia menyesal telah
memutuskanku. Dia pasti akan merajuk untuk meminta balikan. Jika sudah seperti
itu, maka aku akan mengangkat dagu di depan mukanya. Aku akan memarahinya
terlebih dahulu, baru akhirnya memberikan maaf lalu kembali menjadi pacar Raka.
“Aku harap kamu
datang…” Raka menyodorkan undangan itu, “…ke acara pestaku.”
Lututku mendadak lemas.
Dengan tangan bergetar aku menerima undangan tersebut. Semuanya di luar
dugaanku. Bahkan dalam mimpi-mimpi terburukku, aku belum pernah membayangkan
peristiwa ditinggal menikah oleh mantan.
“Permisi, Airin.” Tanpa
basa-basi Raka segera bergegas meninggalkan rumahku.
Aku sudah hilang akal sehat. Aku membenci
Raka! Benar-benar membenci laki-laki tak berperasaan itu! Aku ingin pergi
menjauhinya sejauh-jauhnya. Aku tidak sudi lagi menghirup udara yang sama di
kota hujan ini. Aku ingin cepat-cepat meninggalkan Bogor.
***
Aku memandang ke luar
jendela kereta. Hujan menderas dan bulir-bulir airnya kembali membentuk jalur
ke dataran rendah. Ada juga yang bersekutu membentuk genangan. Hatiku ikut
hujan, membuat suasana di dalam kereta ini kian muram. Mungkin sebentar lagi
kereta ini akan ikut hujan: hujan air mata kesedihanku.
Aku merapatkan jaketku,
menahan diri dari gigil yang kian menggigit. Sebuah ransel berisi setumpuk
pakaian sudah terbaring apik di pangkuanku. Beberapa menit lagi aku akan pergi
meninggalkan kota ini menuju Jogjakarta. Tahun baru yang sendu sudah menantiku dengan
sabar di sana. Setidaknya aku akan merayakan tahun baru di tempat yang berbeda,
sehingga kemungkinan bertemu Raka dan calon istrinya hampir tidak ada. Aku
tidak mau melihat wajah Raka yang tersenyum bahagia.
“Maaf, ini benar 7 C
ya? Kursiku kan?” tanya seseorang.
Spontan saja aku
menoleh menatap orang yang bertanya tersebut. Seorang laki-laki cepak berusia
sekitar 25 tahun menatapku sembari mengangkat dagu. Telunjuknya menunjuk kursi
kosong di sampingku. Gayanya cuek. Dia hanya mengenakan kaos polos berwarna
merah marun, celana baggy berwarna hitam, dan sepatu sandal berwarna senada
dengan celananya. Di dadanya tergantung kamera DSLR merk ternama.
Huh, sekarang aku
benar-benar membenci warna merah marun karena mengingatkanku akan warna kartu
undangan Raka. Mengapa sih pemuda ini harus memilih warna merah marun dari
sekian banyak warna yang ada di muka bumi?
“Hei kamu, ini 7 C
kan?” tanya pemuda itu lagi, memecah lamunanku. Aku gelagapan. Dia pasti heran
melihatku terbengong-bengong seperti itu. Atau mungkin saja pemuda itu menjadi
kepedean. Jangan sampai deh! Jangan sampai juga pemuda ini mengira bahwa aku adalah
gadis dungu yang hobinya melongo.
“Iya, ini 7 C!” sahutku
acuh.
“Jawab dong dari tadi.
Kayak nggak punya mulut aja sih,” tukas pemuda itu ketus. Dia segera
menjatuhkan pantatnya di sebelahku.
Aku meliriknya dengan
kesal, lalu mulai membatin. Apa-apaan sih
pemuda ini. Bukannya mengucapkan terima kasih untuk sekedar berbasa-basi, eh malah
mengomeliku. Memangnya siapa sih dia? Orang penting? Pejabat? Kepala
pemerintahan?Atau presiden?
Pemuda itu mulai sibuk
dengan dunianya sendiri. Setelah memasang headset,
dia asyik melihat-lihat foto di kameranya. Mata pemuda itu tidak lepas dari
layar kameranya. Aku yakin jika kereta ini masuk jurang sekalipun, dia tidak
akan sadar.
Aku kembali melirik ke
arah benda di tangan pemuda itu. Aku sempat melihat foto perempuan sedang
tersenyum di kameranya. Berikutnya aku melihat foto sepasang pengantin dengan
aneka gaya. Aku menilai bahwa orang di sampingku ini adalah seorang yang
berprofesi sebagai fotografer pernikahan. Foto-foto yang dia ambil terlihat
sangat professional. Mudah-mudahan saja dia bukan fotografernya Raka. Jika iya,
maka dunia sempit sekali.
Aku kembali terhanyut
dalam lamunanku tentang Raka, si pemuda kurus yang dalam beberapa hari lagi
akan menjadi milik orang lain. Aku ingin melupakannya. Menghapusnya dari memory dan menganggapnya tidak ada.
“Selamat tinggal, Raka.
Selamat bersenang-senang dengan selingkuhanmu. Semoga Tuhan saja yang membalas
pengkhianatan yang udah kamu lakukan.”
Tak lama kemudian aku tertidur. Perlahan-lahan
kereta mulai meninggalkan stasiun Pasar Senen. Delapan jam perjalanan akan
segera kutempuh. Mudah-mudahan saja aku tidak merasa jenuh, apalagi duduk di
samping pemuda sombong ini. Kejenuhanku mudah-mudahan tidak bertambah seribu
kali lipat.
***
Aku terbangun ketika
laju kereta sudah mulai melambat. Beberapa penumpang sudah mulai ribut
membereskan barang-barang bawaan mereka masing-masing. Beberapa orang yang
berbicara dalam logat bahasa Jawa juga berhasil membuatku membuka mata
lebar-lebar.
Aku celingak-celinguk. Aku
melihat kereta sudah memasuki stasiun Jogjakarta. Rupanya sudah sampai. Hebat
juga rasanya dapat tidur selama delapan jam tanpa terbangun sedikit pun.
Seperti kena bius saja. Ah, mungkin saja hal ini dikarenakan pelampiasan
setelah beberapa hari tidak dapat tidur nyenyak. Belakangan ini aku memang
terlalu sibuk memikirkan dan menangisi Raka hingga larut malam.
Aku menguap dan mencoba untuk meregangkan
otot-ototku. Namun aku sempat heran ketika gerakanku tertahan dan bahu sebelah
kananku terasa berat. Ketika aku menoleh, aku sangat terkejut. Aku melihat
pemuda fotografer itu sedang menyenderkan kepalanya di bahuku dan tertidur
pulas. Aku juga melihat air liurnya menetes ke bahuku.
“Aduuh, apa-apaan
sih?!” seruku marah. Aku mengguncang-guncangkan bahuku, berharap agar dia
segera bangun.
Berhasil. Dia
mengangkat kepalanya lalu mengucek-ucek matanya. “Gempa ya?”
“Gempa kepalamu?!
Tidurnya sembarangan banget sih?! Mana pakai ngiler pula!” omelku sembari
menatap jijik ke bahuku yang kini terasa basah dan hangat.
Pemuda itu sama sekali
tidak memedulikan omelan-omelanku. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Dalam
beberapa detik dia sudah berhasil mengumpulkan nyawa dan sadar akan keadaan di
sekelilingnya. “Oh sudah sampai di Jogjakarta toh!”
Pemuda itu
mengusap-usap wajahnya, merapikan kaos yang dikenakannya, mengecek
barang-barang bawaannya, lalu melompat meninggalkan bangku kereta. Dia
buru-buru keluar dari kereta. Dia sama sekali tidak berniat meminta maaf
padaku.
Aku mengerutkan kening.
“Dasar pemuda aneh bin sinting! Mimpi apa sih aku semalam bisa ketemu orang
nyebelin tingkat dewa kayak gitu!”
Pemuda itu sudah
membuat hujan di dalam kereta, tepatnya di atas bahuku. Ugh, aku harus
cepat-cepat ganti baju, kalau tidak kulitku pasti akan membusuk.
***
31
Desember. Malioboro, Jogjakarta
Aku melirik jam
tanganku. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, namun Malioboro tidak
menunjukkan tanda-tanda akan sepi. Ratusan orang, tua, muda, serta anak-anak
berbondong-bondong datang memenuhi area Malioboro, membuat arus kendaraan di
sana menjadi macet total. Keriuhan membumbung di udara. Semuanya terdengar dari
klakson mobil yang memekakkan telinga, bunyi terompet yang bersahut-sahutan,
tawa yang berkumandang, serta lalu lalang orang yang memadati area perbelanjaan
di sana. Food court, fast food, penjual-penjual souvenir, toko kerajinan tangan, toko
pakaian, serta Mall Malioboro penuh sesak oleh pengunjung dari dalam maupun
luar kota. Tidak sedikit pula turis-turis asing yang ikut berpartisipasi
menikmati perayaan akhir tahun di Malioboro.
Tidak kurang dari lima jam lagi, Indonesia
akan merayakan pergantian tahun. Semuanya dipersiapkan dengan meriah.
Panggung-panggung besar lengkap dengan speaker dan lampu panggung sudah
disiapkan di beberapa titik di kawasan Malioboro. Ratusan kilogram kembang api
juga sudah disiapkan. Seniman-seniman jalanan tidak mau kalah. Mereka juga ikut
berkumpul, menyemarakkan suasana menjelang tahun baru. Mereka asyik memainkan
gitar akustik sembari bernyanyi lagu dalam bahasa Jawa. Demi menambah
ke-khas-an penampilan mereka, tidak sedikit pula yang mengenakan batik serta
blankon.
Aku duduk di fast food lantai dua, sehingga aku dapat
menikmati keramaian jalan Malioboro dari atas. Aku menyesap kopi capuccino
hangatku, lalu memejamkan mata. Di tengah kesibukan dan di tengah orang-orang
yang asyik berbagi kasih dengan orang-orang tersayang, aku malah sendirian.
Ironis.
KLIK. Tiba-tiba cahaya
silau menyirami wajahku. Aku terkejut. Aku membuka mata lalu menoleh ke arah
sumber cahaya. Astaga, ternyata si fotografer congkak di kereta hujan! Kali ini
dia mengenakan kaos berwarna hitam dan celana jeans abu-abu. Warna bajunya
seakan-akan mengejekku yang saat ini tengah berduka menangisi cinta yang telah
wafat.
“Eh, ngapain lo
motret-motret gue tanpa izin?!” seruku meradang.
“Lo gadis yang di
kereta kan?” tanya pemuda itu. “Kebetulan banget ya kita bisa ketemu di sini.”
Aku membuang muka acuh.
Aku sudah terlanjur kesal dengannya sehingga aku tidak mau berbincang mengenai
apapun dengannya. Bagaimana mungkin aku bisa bertemu lagi dengannya? Jogja kan
luas. Kebetulan yang menyebalkan.
“Kenalin, nama gue
Martin. Nama lo siapa sih?”
Satu menit. Dua menit.
Tiga menit. Aku masih mendiamkannya. Aku tidak berniat berbasa-basi dengan Mar…
Mar… Ah entah siapa itu namanya.
“Sombong banget sih lo!
Memangnya susah banget ya memperkenalkan diri?” keluh Martin. Tanpa malu-malu
dia duduk di hadapanku, bertopang dagu lalu menatapku.
“Memangnya lo sendiri
nggak sombong? Sama aja kan?” sahutku cepat.
Martin mengangkat kedua
alisnya tinggi - tinggi. “Gue sombong sama lo? Kapan?”
Aku mengangkat bahu. “Mikir
aja sendiri!”
Martin tertawa renyah,
membuatku mau tak mau mengalihkan perhatian kepadanya. Aku merasa bahwa Martin yang
sekarang jauh lebih ramah dibandingkan dengan tadi. Aku jadi luluh juga melihat
sikapnya.
“Sorry lah ya. Mungkin tadi gue panik, jadinya malah nggak sopan deh
sama lo. Soalnya itu pertama kalinya gue naik kereta, jadi agak sedikit
bingung. Pas gue nanya, eh lo malah bengong. Kesal banget dong jadinya.” Martin
mengaku dosa di hadapanku. Wajahnya yang polos dan tingkahnya yang lugu
akhirnya membangkitkan simpatiku kepadanya.
“Ya udah, nggak apa-apa
deh,” sahutku.
Martin tersenyum. “Jadi
boleh dong gue tahu nama lo?”
Aku mengangguk. “Nama
gue Airin.”
“Lo sendirian ke sini,
Rin?” tanya Martin.
“Lo juga kan?” Aku
balik bertanya.
“Ya, solo backpacker. Memangnya lo tipe orang
yang suka jalan-jalan sendirian juga ya?”
Aku tertawa. “Maybe yes, maybe not. Tapi yang pasti gue bukan tipe orang yang seberani elo
lah buat jalan-jalan sendirian gitu.”
“Gue juga nggak mau sih
jalan-jalan sendirian. Gue cuma lagi menghindar aja.”
“Menghindar dari
siapa?”
“Mantan gue. Dia nikah
kemarin,” ujar Martin.
Aku terhenyak. Kisah
Martin rupanya sama denganku. Aku dapat mengerti bagaimana rasanya ditinggal
menikah oleh seseorang yang sangat dicintai.
“Parahnya, dia nyewa
gue sebagai fotografer untuk acara wedding-nya
dengan alasan dia nggak punya kenalan fotografer selain gue. Sakit nggak tuh?”
“Oh! Jangan – jangan
foto pengantin yang ada di kamera lo itu
mantan lo ya?!” tembakku to the point.
“Kok lo tahu?” Martin
menatapku heran.
Aku menutup mulutku.
Aku keceplosan. Secara tidak langsung aku mengakui bahwa aku mengintip isi
kameranya sewaktu di kereta. Namun untungnya, Martin tidak mempermasalahkan
soal itu.
“Ya begitulah. Makanya
gue lari ke sini. Gue memang cowok pengecut. Nggak berani menghadapi masalah.”
“Lagian ngapain banget
sih lo nerima job dari mantan lo?
Kayak kurang kerjaan aja!”
Martin tertawa pahit,
lalu mengangkat bahu seakan-akan tidak mengerti akan kebodohannya sendiri.
“Mungkin karena gue penasaran mau lihat dia pakai gaun pengantin….”
Ucapannya membuatku
terdiam.
“Oke, cukup tentang
gue. Sekarang cerita, ngapain lo ke Jogja sendirian? Bukannya lebih asyik
ngerayain tahun baru bareng keluarga?”
Aku menunduk. “Semua
ada latar belakangnya. Gue nggak kalah pengecutnya jika dibandingkan dengan
elo.”
“Kenapa memangnya?”
“Gue juga melarikan
diri dari Bogor. Gue nggak mau menyaksikan mantan gue menikah dan berbahagia
bersama orang yang bukan gue.”
Martin tertawa, “Nasib
kita sama toh! Ya udahlah, kita refreshing
aja yuk! Daripada kita karatan di sini mikirin mantan, mending kita
senang-senang!”
Aku menurut. Martin
mengajakku menembus kepadatan di jalan Malioboro. Aku melirik ke sisi kanan dan
kiri jalan. Tidak ada satu space pun
yang kosong. Semuanya penuh sesak oleh manusia. Apalagi ketika panggung-panggung
besar mulai hidup. Acara-acara dimulai. Beberapa artis ibukota yang diundang ke
Jogjakarta untuk mengisi acara kini sedang sibuk menyapa para penonton. Martin
memuaskan hobinya memotret keramaian, sedangkan aku asyik menikmati lagu-lagu
yang dibawakan oleh para diva.
“Kita jalan-jalan ke
tempat lain yuk!” ajak Martin.
“Kemana?”
Martin tidak menjawab.
Dia menghampiri andong yang berjejer rapi di tepi jalan Malioboro. Sedangkan
aku hanya mengekorinya.
“Mas, nek ajeng teng alun-alun pinten (Mas, ke alun-alun berapa)?”
tanya Martin.
“Satus sewu mawon (Seratus ribu saja).”
“Larange, Mas. Mbok di kurangi regane sekedik (Mahal sekali, Mas.
Dikurangin sedikit dong).”
“Pun sasetu niku pun murah (Itu pun sudah murah).”
Martin terlihat
berpikir sejenak. “Nggih pun sios (Ya
udah deh oke).”
Kami berdua segera naik
andong. Sebenarnya aku kasihan melihat sang kuda harus menarik kereta seberat
itu, namun aku tidak enak kepada Martin jika menolak ajakannya. Tak berapa
lama, kereta kuda yang kami tumpangi pun melaju. Bunyi tapak kaki kuda
mengiringi perjalanan kami.
“Lo ngerti bahasa Jawa
toh?” tanyaku.
Martin mengangguk, lalu
berbisik, “Biar dapat harga murah, di sini harus nawar pake bahasa Jawa.
Biasanya sih nggak semahal tadi. Tapi ya udahlah, ini kan lagi high season. Semuanya serba mahal.”
Setelah itu perjalanan kami dilanjutkan dengan
hening karena Martin kembali asyik memotret pemandangan dari atas andong. Lima
belas menit kemudian, aku dan Martin sudah sampai di Alun-Alun, sebuah tempat
hiburan yang terkenal dengan beringin kembarnya. Sepeda-sepeda kayuh dengan
lampu warna-warni memenuhi jalan di sekitar alun-alun. Kami merasa seperti
sedang berada di sebuah acara festival.
“Mau naik itu nggak?”
tanya Martin.
Aku menggeleng. Aku
memang tidak tertarik naik kendaraan kayuh seperti itu.
“Kenapa? Kan seru!”
ujar Martin.
“Gue laper, tahu!”
tukasku.
Martin tertawa. Dia segera
mengajakku ke area tempat makan yang ada di sana.
“Dahar mriki mawon, Mas! Murah wis saestu (Makan di sini saja Mas!
Murah kok)!” Seorang penjual sibuk memanggil-manggil kami, berharap agar kami
mau memanjakan lidah di tempat makan miliknya.
Aku dan Martin saling
berpandangan. Martin memberiku isyarat untuk makan malam di sana. Aku setuju
saja. Kami berdua pun duduk lesehan di tempat yang sudah disediakan.
“Ajang pesen nopo niki, Mas (Mau pesan apa, Mas)?” tanya si penjual
sembari menyodorkan menu.
“Roti bakare kaleh (Roti bakarnya dua),” ujar Martin.
Sang penjual segera
mencatat pesanan kami, lalu memohon diri. Sepeninggal sang penjual, aku dan
Martin kembali bercengkrama mengenai kehidupan pribadi. Kami juga menceritakan
mengenai mantan masing-masing. Aku heran, bagaimana mungkin aku dapat
mencurahkan seluruh isi hati dan pikiranku kepada orang asing yang baru kutemui
hari ini. Aku tahu bahwa Martin juga merasakan keheranan yang sama.
Obrolan kami terpecah
oleh si penjual yang rupanya sudah selesai membuat pesanan kami.
Martin menatapku penuh
arti lalu memberikan roti bakar tersebut kepadaku, “Niki roti bakar kagem sampeyan. Kangge ngobati pun ati (Ini roti
bakar buatmu. Untuk mengobati hati).”
“Apa tuh artinya?”
tanyaku.
Martin tertawa. Dia
enggan menjawab pertanyaanku.
“Eh, ngeledek ya? Kasih
tahu dong!” Aku mencubit lengan Martin.
Martin kembali tertawa.
Rupanya dia sama sekali tidak mau memberitahu makna dari perkataannya. Saat
kami asyik menikati sensasi hangat dan manisnya roti bakar yang menari-nari di
lidah kami, kami melihat letusan kembang api warna-warni memenuhi langit.
Suasana menjadi sangat riuh oleh sorakan dan tepuk tangan. Aku melirik jam
tanganku. Rupanya waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam lebih satu menit.
Tahun telah berganti tanpa kusadari. Aku terlalu asyik menikmati suasana
bersama Martin.
Aku dan Martin
berpandangan, lalu kami saling mengucap, “Happy
new year. Hope our wish comes true.”
Saat kami selesai
berkata, aku pun melanjutkan perkataanku seorang diri, “Semoga di tahun depan
aku tidak naik kereta hujan lagi. Aku mau naik kereta yang dihiasi pelangi.
Amin.”
Martin tersenyum, dan…
KLIK! Dia mengambil gambarku sekali lagi.
Saat aku memelototinya
karena dia kembali memotretku tanpa izin, Martin hanya menjawab santai, “Buat
kenang-kenangan. Tahun depan aku berharap dapat memotretmu di atas kereta
berhiaskan pelangi.”
***
Aku mengepak pakaianku
satu persatu untuk kumasukkan ke dalam ransel. Petualanganku selama seminggu di
Jogja cukup berkesan. Aku tidak pernah bertemu Martin lagi, karena setelah
selesai perayaan tahun baru itu, Martin seperti hilang ditelan bumi. Bodohnya,
kami tidak saling bertukar nomor telepon sehingga kami tidak dapat menghubungi
satu sama lain. Namun untungnya aku sudah menyelipkan surat di saku celananya saat
kami berdua pulang dari Alun-Alun.
To:
Pemuda di Kereta Hujan.
Kita
bertemu di kereta pada sebuah momen yang tidak pernah kita tahu bahwa itu akan
terjadi. Kita sama-sama lari dari cinta yang meninggalkan kita. Namun pertemuan
dengan sosok lo membuat gue sadar bahwa setiap ada pertemuan pasti ada
perpisahan. Begitu pula setiap ada perpisahan, pasti ada pertemuan dengan orang
baru. Tidak ada yang perlu ditangisi terlalu lama. Terima kasih untuk roti
bakar pengobat hati yang sudah lo kasih. Lo berhasil membuat hati gue menjadi
jauh lebih baik.
Sehari bersama lo
rupanya jauh lebih indah daripada dua tahun bersama Raka. Semoga suatu saat,
setelah masing-masing dari kita berhasil move on, kita diizinkan untuk bertemu
kembali ya, pemuda kereta.
***
Aku menyusuri jalan Sosrowijayan menuju Stasiun Jogjakarta. Barisan hotel-hotel, restoran, minimarket, dan bar mengiringi langkahku. Aku akan naik kereta pukul enam sore menuju stasiun Pasar Senen, lalu akan melanjutkan perjalanan menuju Bogor. Aku sudah menetapkan hati bahwa aku tidak akan lari lagi dari masalah.
Aku menyusuri jalan Sosrowijayan menuju Stasiun Jogjakarta. Barisan hotel-hotel, restoran, minimarket, dan bar mengiringi langkahku. Aku akan naik kereta pukul enam sore menuju stasiun Pasar Senen, lalu akan melanjutkan perjalanan menuju Bogor. Aku sudah menetapkan hati bahwa aku tidak akan lari lagi dari masalah.
Tak lama aku menunggu,
keretaku datang memasuki stasiun. Aku segera masuk ke dalam kereta, lalu duduk
pada bangku yang sesuai dengan nomor pada tiketku. Aku melemparkan pandangan ke
luar jendela.
“Sorry, ini nomor 7 C
bukan?” tanya seseorang.
Aku terkesiap, lalu
segera menoleh ke arah sumber suara. ***
No comments:
Post a Comment