Friday, September 12, 2014

KISAH TENTANG KAMU DAN AKU



KISAH TENTANG KAMU DAN AKU
Oleh: Veronica Faradilla
Aku duduk diam di kamar, menghirup kehadiranmu. Aku menatap sebuah sampul buku dengan cover merah muda. Manis sekali. Buku itu berjudul: KISAH TENTANG KAMU DAN AKU, karya Johan A.
Johan Aditya. Nama itu begitu familiar. Nama yang pernah terukir pada masa laluku. Aku tahu ini buku yang bercerita tentang cinta. Aku tak menyangka orang itu akan membeli buku hasil karyamu, lalu membawanya ke dalam kamar ini. Dia seperti sengaja hendak membangkitkan kenanganku tentangmu. Angin yang berhembus lewat kisi-kisi jendela membuka lembaran-lembaran buku itu, sekaligus membuka lembaran kisahku bersamamu.
Malioboro, Jogjakarta. 15 Agustus 2012.
Kamu membawaku menyusuri sepanjang jalan yang padat, penuh dengan wisatawan asing dan lokal. Aneka bahasa riuh rendah memenuhi lubang telinga. Kamu mengajakku menembus kerumunan orang-orang berkeringat itu. Tidak, kamu tidak mengajakku berbelanja  ataupun wisata kuliner. Itu bukan hobimu. Hobimu hanya diam mematung mengamati pemandangan bersamaku. Setelah itu kamu akan berceloteh sendiri mengagumi betapa indahnya Indonesia. Aku sudah hafal gerak-gerik dan kebiasaanmu setelah bertahun-tahun kita bersama.
Seperti saat ini kamu mengajakku berdiri di ujung jalan Malioboro. Kamu bercerita mengenai sejarah Malioboro dengan apiknya. Kamu bercerita bahwa dahulu Malioboro adalah sepenggal jalanan sepi, tidak seramai sekarang. Lalu kamu mengajakku menelusuri jejak sejarah di benteng Vredeburg.
Aku sempat melihatmu termangu menatap senja, di ujung Malioboro, lalu berkata, “Aku terlahir dari sana. Aku adalah penjelmaan dari sejarah seperti benteng ini. Sebelum senja berubah jadi malam, aku telah lahir. Dan aku akan kembali sebelum malam.”
Sejujurnya aku tidak pernah mengerti akan perkataanmu. Tapi menikmati senja di Jogjakarta bersamamu adalah anugerah yang luar biasa bagiku. Semoga perasaan seperti ini tidak akan pudar.
Lembang, 15 Juli 2012
Kamu menatapku dalam keremangan cahaya lilin. Aku dan kamu sama-sama terhanyut dalam suasana restoran berkonsep alam. Kamu berkata, “Kadangkala secercah cahaya lemah seperti ini saja dapat memberikan ketentraman. Aku adalah wujud yang terlahir dari setitik cahaya untuk menentramkan hatimu. Begitu pun kamu. Kamu juga merupakan setitik cahaya bagiku. Tanpamu, hidupku gelap.
Aku diam. Aku tahu kamu selalu berkata semanis itu, Johan. Aku tahu perkataanmu itu benar. Lalu aku dan kamu menghabiskan makan malam yang sudah tersaji, lalu kita menikmati udara malam di Lembang dan sejuta cahaya lampu yang berasal dari rumah-rumah penduduk. Sungguh indah. Apalagi bersama kamu.
 Udara Lembang saat itu sedikit dingin bekas hujan tadi siang. Kamu merapatkan jaket kulitmu, lalu mendekapku sehingga aku ikut hangat dalam pelukanmu.
“Suatu saat kamu akan melihat cahaya mataku di tengah-tengah hamparan lampu itu. Semoga abadi. Tentang aku dan kamu, semoga terus bersama, nggak bisa dipisahin. Karena jika kamu pergi atau hilang dari hadapanku, aku hanya seonggok daging tanpa nama, tanpa nyawa.”
Danau Toba. 15 Mei 2012.
Aku dan kamu bersiap-siap menaiki perahu kecil yang akan membawa kita melintasi Danau Toba, menyeberang ke Pulau Tomok. Riak-riak Danau Toba tidak begitu ramah. Bergelombang, membuat perahu yang kita naiki ikut bergoyang-goyang. Beberapa penumpang yang mabuk laut akhirnya berhasil menumpahkan isi perutnya, membaur bersama riak-riak itu.
“Johan.” Aku memanggil namamu dalam hati. Aku benar-benar takut jatuh. Jika aku jatuh, maka aku akan berpisah darimu.
Kamu seakan-akan mampu mengerti kegelisahan hatiku. Kamu hanya tersenyum. “Tak apa-apa kok. Gelombang-gelombang itu seperti cobaan dalam kehidupan. Dan aku seperti perahu yang akan membawamu menembusi gelombang itu. Setidaknya aku mencoba untuk menjadi perahu bagimu dan bagi hidupku sendiri. Aku berharap tidak akan karam.”
Karam? Jika kamu karam, bagaimana denganku? Pastilah aku ikut tenggelam dan mati.
Kota Tua. 15 April 2012.
Suara petikan gitar membahana di setiap sudut bangunan tua. Seniman-seniman jalanan saling beradu memamerkan suaranya demi mendapatkan uang. Di sudut lain, para pedagang menggelar dagangannya. Beberapa di antara mereka juga ada yang mempunyai kreatifitas membuat aneka permainan dengan hadiah-hadiah menarik. Sungguh riuh pemandangan malam itu.
KLIK. Kamu tidak pernah lupa memotret kegiatan mereka.
“Kuharap kamu nggak bosan melihat pemandangan yang itu-itu saja,” ujarmu sembari menatapku lembut.
Aku memang sudah sering diajak olehmu untuk pergi ke tempat ini lagi dan lagi. Berkali-kali. Tapi aku tidak pernah berpikir bahwa pergi bersamamu akan membosankan. Kamu tahu kenapa, Johan? Karena aku menyukainya. Aku suka kehangatan saat bersamamu. Aku juga suka bau harum rambutmu. Semuanya membuatku nyaman, dan yakin bahwa aku aman bersamamu.
Kamar rumah sakit. 15 Desember 2012.
Kamu terbaring diam di ranjang berseprai putih itu. Selang infus menancap di lenganmu. Selimut membungkus tubuhmu hingga dada. Nafasmu teratur, membuat dadamu naik turun, naik turun. Detak jantungmu juga teratur.
Lalu aku kembali menelusuri tiap senti wajahmu. Rambut lebat yang tidak tersisir dengan rapi, dahi yang agak lebar, mata yang terpejam rapat, hidung yang mancung, bibir tipis, dan dagu yang tertutup oleh bulu-bulu halus. Kau terlihat begitu damai.
Pernahkah kamu merasa sedamai itu Johan?
Aku hanya diam memandangimu dari sudut kamar rumah sakit. Aku tak mampu mengenali perasaanku sendiri. Sedihkah aku? Aku tak tahu. Yang jelas aku tidak mampu berkata apa-apa. Sejak kamu terbaring di sana, kamu tidak pernah lagi mengajakku kemanapun. Hidupku hanya berkisar di rumah sakit, memandangimu dengan nanar. Sungguh, aku tidak mampu beranjak jika tak ada kamu di sisiku.
Bangunlah, Johan. Aku mohon.
Aku menghitung detik demi detik. Terkadang aku menatap cicak yang saling berkejaran menggodai penghuni ruangan itu. Tidak ada suara. Semuanya hening. Hanya tersisa suara lembut nafasmu, dan suara kicau pucat burung-burung di sudut ranting di luar kamar.
Kenapa sih kamu nggak bangun-bangun juga? Apa yang kamu cari dalam tidur panjang itu? Kamu nggak lelah ya? Kadangkala orang kan akan lelah jika hanya memejamkan mata. Kenapa kamu nggak? Apa yang sebaiknya aku lakuin? Bangun Johan, bangun! Jangan sampai ucapan terakhirmu di Malioboro menjadi kenyataan. Jangan menjadi senja, lalu kembali pulang pada malam, Johan! Aku masih butuh kamu!
Namun suaraku hanya seperti gema yang berkumandang dalam sunyi senyap ruang persegi empat tersebut.
Sesaat terbayang kembali ingatan menyeramkan itu, ketika aku harus menyaksikan orang yang kusayangi mengalami semua itu. Ketika kamu hendak pergi mengambil foto-foto baru di daerah Curug Nangka, Bogor, motormu sedikit oleng, lalu bersinggungan dengan sebuah truk tangki. Nasib sial bagimu. Motormu terseret di bahu jalan, sedangkan tubuhmu terlempar ke tengah jalan. Mobil sedan biru yang dikendarai oleh laki-laki tua, tidak sempat menghindar dari terjangan tubuhmu. Akibatnya kamu pun tertabrak, dan terlempar sejauh setengah meter. Sungguh tragis. Aku menjadi saksi semua itu. Menjadi saksi atas menggenangnya darahmu.
Aku masih ingat ketika orang-orang mengerumuni kita, berbincang ribut dan saling menyalahkan. Ungkap simpati, sesal, sedih, ataupun amarah, semuanya meledak jadi satu. Sedangkan kamu hanya berbaring diam di atas darahmu sendiri. Tidak terganggu oleh celoteh mereka.
Ugh... padahal kemarin kamu baru saja berkata kepadaku dengan semangat yang meletup-letup dan suara sejernih air di telaga.
“Hei, kamu tahu nggak. Aku akan mengajakmu berpetualang ke tempat-tempat yang nggak pernah kita kunjungi sebelumnya! Aku yakin kamu tidak akan bosan! Aku juga tidak akan bosan! Jadi bersemangatlah!”
Aku ingin bertanya, kemana tujuan kita. Tetapi aku tahu, meskipun aku bertanya, kamu tidak akan pernah menjawabnya. Kamu selalu sibuk dengan antusiasme dirimu sendiri.
Januari 2013.
Aku dengar kamu telah pergi. Nisan batu itu telah diukir dengan namamu. Bunga warna-warni telah ditabur ke tanah makammu. Orang-orang berpakaian hitam-hitam itu telah lama pergi, meninggalkan rintik-rintik hujan yang membasahi tanah kubur. Mereka juga membawaku pergi. Aku tak bisa menolak, meskipun aku ingin sekali menemanimu.
Aku tak bisa lagi menangis. Semua memori dan kenangan tentangmu telah tertanam di tubuhku. Aku berharap tak ada seorang pun yang dapat menghapusnya. Lalu hari itu pun tiba. Seseorang yang kukenal sebagai kakak laki-lakimu, mengajakku ke pasar loak.
Aku bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan dilakukan oleh kakakmu? Apakah dia akan menggantikan posisimu, Johan? Tidak! Aku tidak mau! Kamu tidak terganti, Johan. Karena saat dia mendekapku, aku tidak merasakan kehangatan yang sama, seperti yang biasa aku rasakan bersamamu. Namun aku bisa apa? Aku tidak dapat menolaknya.
“Berapa kau terima? Apa? Lima ratus ribu? Gila! Itu terlalu murah! Ini barang bagus!”
Aku tersudut sendirian. Itu percakapan mengenai apa?
“Enam ratus ribu gimana?” Kakakmu kembali mengajukan penawaran.
Aku melihat pedagang itu mengangguk.
“Oke, deal!” Lalu kakakmu menukarku dengan lembaran ratusan ribu. Dia menyerahkanku ke tangan orang asing.
Aku panik. Tidak, tidak! Jangan jual aku. Aku milik Johan, dan tak mau berganti pemilik! Johan, tolong! Kakakmu tidak berhak menjual aku.
“Aku yakin kau tidak akan menyesal membelinya. Kamera itu benar-benar bagus,” ujar kakakmu.
“Kenapa kau mau menjualnya?” Orang itu bertanya.
Mata kakakmu mendadak berubah sendu, memancarkan jiwa yang kosong.  “Karena dia penuh kenangan tentang adikku. Aku tidak mau melihat benda itu lagi.”
Aku termangu. Rupanya begitu. Aku memang kamera kesayangan Johan. Aku dan Johan seperti tidak pernah terpisahkan. Bahkan hubungan kami seperti sepasang kekasih. Johan pernah diputuskan oleh pacarnya karena terlalu sibuk denganku. Ya, hobi Johan adalah travelling menjelajah Indonesia, sambil membawaku untuk memotret pemandangan.
Aku jadi teringat saat pertama kali aku bertemu dengan Johan. Aku tergolek di lemari kaca sebuah toko kamera. Tidak ada yang mau membeliku. Aku hanyalah sebuah kamera tua. Orang-orang yang berdatangan hanya mau membeli kamera pocket ataupun DSLR. Kemudian aku melihat pemuda berusia 20 tahun melangkah masuk ke dalam toko. Pemuda itu mengenakan kaos  dan celana jeans. Sebagian matanya tertutup topi. Pemuda itu memandangiku lama sekali. Setelah itu dia keluar tanpa bertanya-tanya dahulu kepada pemilik toko.
Esoknya dia kembali. Lalu dia berbincang kepada pemilik toko sembari menunjukku. Setelah terjadi tawar menawar sengit, akhirnya dia membuka dompetnya, lalu membayar sejumlah uang. Aku dimasukkan ke dalam kotak, lalu aku dibawa oleh pemuda itu. Pemuda itu kamu, Johan. Ingatkah kamu? Itulah pertama kalinya aku merasa tersentuh. Kamu memilihku di antara puluhan barang-barang yang kualitas dan modelnya jauh lebih bagus daripadaku.
Sejak hari itu, petualangan-petualangan kita tidak pernah berakhir. Lalu kau merangkai perjalanan-perjalanan itu ke dalam kata-kata. Kau rekam semuanya ke dalam catatan. Hingga akhirnya semua kisah itu diterbitkan. Kisah tentang kamu dan aku.***

Invite my Path:
Veronica Faradilla

No comments:

Post a Comment