KISAH
TENTANG KAMU DAN AKU
Oleh:
Veronica Faradilla
Aku duduk diam di
kamar, menghirup kehadiranmu. Aku menatap sebuah sampul buku dengan cover merah
muda. Manis sekali. Buku itu berjudul: KISAH TENTANG KAMU DAN AKU, karya Johan
A.
Johan Aditya. Nama itu begitu
familiar. Nama yang pernah terukir pada masa laluku. Aku tahu ini buku yang
bercerita tentang cinta. Aku tak menyangka orang itu akan membeli buku hasil
karyamu, lalu membawanya ke dalam kamar ini. Dia seperti sengaja hendak
membangkitkan kenanganku tentangmu. Angin yang berhembus lewat kisi-kisi
jendela membuka lembaran-lembaran buku itu, sekaligus membuka lembaran kisahku
bersamamu.
Malioboro,
Jogjakarta. 15 Agustus 2012.
Kamu membawaku
menyusuri sepanjang jalan yang padat, penuh dengan wisatawan asing dan lokal. Aneka
bahasa riuh rendah memenuhi lubang telinga. Kamu mengajakku menembus kerumunan
orang-orang berkeringat itu. Tidak, kamu tidak mengajakku berbelanja ataupun wisata kuliner. Itu bukan hobimu.
Hobimu hanya diam mematung mengamati pemandangan bersamaku. Setelah itu kamu
akan berceloteh sendiri mengagumi betapa indahnya Indonesia. Aku sudah hafal
gerak-gerik dan kebiasaanmu setelah bertahun-tahun kita bersama.
Seperti saat ini kamu
mengajakku berdiri di ujung jalan Malioboro. Kamu bercerita mengenai sejarah
Malioboro dengan apiknya. Kamu bercerita bahwa dahulu Malioboro adalah
sepenggal jalanan sepi, tidak seramai sekarang. Lalu kamu mengajakku menelusuri
jejak sejarah di benteng Vredeburg.
Aku sempat melihatmu
termangu menatap senja, di ujung Malioboro, lalu berkata, “Aku terlahir dari
sana. Aku adalah penjelmaan dari sejarah seperti benteng ini. Sebelum senja
berubah jadi malam, aku telah lahir. Dan aku akan kembali sebelum malam.”
Sejujurnya aku tidak
pernah mengerti akan perkataanmu. Tapi menikmati senja di Jogjakarta bersamamu
adalah anugerah yang luar biasa bagiku. Semoga perasaan seperti ini tidak akan
pudar.
Lembang,
15 Juli 2012
Kamu menatapku dalam
keremangan cahaya lilin. Aku dan kamu sama-sama terhanyut dalam suasana
restoran berkonsep alam. Kamu berkata, “Kadangkala secercah cahaya lemah
seperti ini saja dapat memberikan ketentraman. Aku adalah wujud yang terlahir
dari setitik cahaya untuk menentramkan hatimu. Begitu pun kamu. Kamu juga
merupakan setitik cahaya bagiku. Tanpamu, hidupku gelap.
Aku diam. Aku tahu kamu
selalu berkata semanis itu, Johan. Aku tahu perkataanmu itu benar. Lalu aku dan
kamu menghabiskan makan malam yang sudah tersaji, lalu kita menikmati udara
malam di Lembang dan sejuta cahaya lampu yang berasal dari rumah-rumah
penduduk. Sungguh indah. Apalagi bersama kamu.
Udara Lembang saat itu sedikit dingin bekas
hujan tadi siang. Kamu merapatkan jaket kulitmu, lalu mendekapku sehingga aku
ikut hangat dalam pelukanmu.
“Suatu saat kamu akan
melihat cahaya mataku di tengah-tengah hamparan lampu itu. Semoga abadi.
Tentang aku dan kamu, semoga terus bersama, nggak bisa dipisahin. Karena jika
kamu pergi atau hilang dari hadapanku, aku hanya seonggok daging tanpa nama,
tanpa nyawa.”
Danau
Toba. 15 Mei 2012.
Aku dan kamu bersiap-siap
menaiki perahu kecil yang akan membawa kita melintasi Danau Toba, menyeberang
ke Pulau Tomok. Riak-riak Danau Toba tidak begitu ramah. Bergelombang, membuat
perahu yang kita naiki ikut bergoyang-goyang. Beberapa penumpang yang mabuk
laut akhirnya berhasil menumpahkan isi perutnya, membaur bersama riak-riak itu.
“Johan.” Aku memanggil
namamu dalam hati. Aku benar-benar takut jatuh. Jika aku jatuh, maka aku akan
berpisah darimu.
Kamu seakan-akan mampu
mengerti kegelisahan hatiku. Kamu hanya tersenyum. “Tak apa-apa kok.
Gelombang-gelombang itu seperti cobaan dalam kehidupan. Dan aku seperti perahu
yang akan membawamu menembusi gelombang itu. Setidaknya aku mencoba untuk
menjadi perahu bagimu dan bagi hidupku sendiri. Aku berharap tidak akan karam.”
Karam? Jika kamu karam,
bagaimana denganku? Pastilah aku ikut tenggelam dan mati.
Kota
Tua. 15 April 2012.
Suara petikan gitar
membahana di setiap sudut bangunan tua. Seniman-seniman jalanan saling beradu
memamerkan suaranya demi mendapatkan uang. Di sudut lain, para pedagang
menggelar dagangannya. Beberapa di antara mereka juga ada yang mempunyai
kreatifitas membuat aneka permainan dengan hadiah-hadiah menarik. Sungguh riuh
pemandangan malam itu.
KLIK. Kamu tidak pernah
lupa memotret kegiatan mereka.
“Kuharap kamu nggak
bosan melihat pemandangan yang itu-itu saja,” ujarmu sembari menatapku lembut.
Aku memang sudah sering
diajak olehmu untuk pergi ke tempat ini lagi dan lagi. Berkali-kali. Tapi aku
tidak pernah berpikir bahwa pergi bersamamu akan membosankan. Kamu tahu kenapa,
Johan? Karena aku menyukainya. Aku suka kehangatan saat bersamamu. Aku juga
suka bau harum rambutmu. Semuanya membuatku nyaman, dan yakin bahwa aku aman
bersamamu.
Kamar
rumah sakit. 15 Desember 2012.
Kamu terbaring diam di
ranjang berseprai putih itu. Selang infus menancap di lenganmu. Selimut
membungkus tubuhmu hingga dada. Nafasmu teratur, membuat dadamu naik turun,
naik turun. Detak jantungmu juga teratur.
Lalu aku kembali
menelusuri tiap senti wajahmu. Rambut lebat yang tidak tersisir dengan rapi, dahi
yang agak lebar, mata yang terpejam rapat, hidung yang mancung, bibir tipis,
dan dagu yang tertutup oleh bulu-bulu halus. Kau terlihat begitu damai.
Pernahkah
kamu merasa sedamai itu Johan?
Aku hanya diam memandangimu dari
sudut kamar rumah sakit. Aku tak mampu mengenali perasaanku sendiri. Sedihkah
aku? Aku tak tahu. Yang jelas aku tidak mampu berkata apa-apa. Sejak kamu
terbaring di sana, kamu tidak pernah lagi mengajakku kemanapun. Hidupku hanya berkisar
di rumah sakit, memandangimu dengan nanar. Sungguh, aku tidak mampu beranjak
jika tak ada kamu di sisiku.
Bangunlah,
Johan. Aku mohon.
Aku menghitung detik
demi detik. Terkadang aku menatap cicak yang saling berkejaran menggodai
penghuni ruangan itu. Tidak ada suara. Semuanya hening. Hanya tersisa suara
lembut nafasmu, dan suara kicau pucat burung-burung di sudut ranting di luar
kamar.
Kenapa
sih kamu nggak bangun-bangun juga? Apa yang kamu cari dalam tidur panjang itu?
Kamu nggak lelah ya? Kadangkala orang kan akan lelah jika hanya memejamkan
mata. Kenapa kamu nggak? Apa yang sebaiknya aku lakuin? Bangun Johan, bangun!
Jangan sampai ucapan terakhirmu di Malioboro menjadi kenyataan. Jangan menjadi
senja, lalu kembali pulang pada malam, Johan! Aku masih butuh kamu!
Namun suaraku hanya
seperti gema yang berkumandang dalam sunyi senyap ruang persegi empat tersebut.
Sesaat terbayang
kembali ingatan menyeramkan itu, ketika aku harus menyaksikan orang yang
kusayangi mengalami semua itu. Ketika kamu hendak pergi mengambil foto-foto
baru di daerah Curug Nangka, Bogor, motormu sedikit oleng, lalu bersinggungan
dengan sebuah truk tangki. Nasib sial bagimu. Motormu terseret di bahu jalan,
sedangkan tubuhmu terlempar ke tengah jalan. Mobil sedan biru yang dikendarai
oleh laki-laki tua, tidak sempat menghindar dari terjangan tubuhmu. Akibatnya
kamu pun tertabrak, dan terlempar sejauh setengah meter. Sungguh tragis. Aku
menjadi saksi semua itu. Menjadi saksi atas menggenangnya darahmu.
Aku masih ingat ketika orang-orang
mengerumuni kita, berbincang ribut dan saling menyalahkan. Ungkap simpati,
sesal, sedih, ataupun amarah, semuanya meledak jadi satu. Sedangkan kamu hanya
berbaring diam di atas darahmu sendiri. Tidak terganggu oleh celoteh mereka.
Ugh... padahal kemarin
kamu baru saja berkata kepadaku dengan semangat yang meletup-letup dan suara
sejernih air di telaga.
“Hei, kamu tahu nggak.
Aku akan mengajakmu berpetualang ke tempat-tempat yang nggak pernah kita
kunjungi sebelumnya! Aku yakin kamu tidak akan bosan! Aku juga tidak akan
bosan! Jadi bersemangatlah!”
Aku ingin bertanya,
kemana tujuan kita. Tetapi aku tahu, meskipun aku bertanya, kamu tidak akan
pernah menjawabnya. Kamu selalu sibuk dengan antusiasme dirimu sendiri.
Januari
2013.
Aku dengar kamu telah
pergi. Nisan batu itu telah diukir dengan namamu. Bunga warna-warni telah
ditabur ke tanah makammu. Orang-orang berpakaian hitam-hitam itu telah lama
pergi, meninggalkan rintik-rintik hujan yang membasahi tanah kubur. Mereka juga
membawaku pergi. Aku tak bisa menolak, meskipun aku ingin sekali menemanimu.
Aku tak bisa lagi
menangis. Semua memori dan kenangan tentangmu telah tertanam di tubuhku. Aku
berharap tak ada seorang pun yang dapat menghapusnya. Lalu hari itu pun tiba.
Seseorang yang kukenal sebagai kakak laki-lakimu, mengajakku ke pasar loak.
Aku bertanya-tanya
dalam hati, apa yang akan dilakukan oleh kakakmu? Apakah dia akan menggantikan
posisimu, Johan? Tidak! Aku tidak mau! Kamu tidak terganti, Johan. Karena saat
dia mendekapku, aku tidak merasakan kehangatan yang sama, seperti yang biasa
aku rasakan bersamamu. Namun aku bisa apa? Aku tidak dapat menolaknya.
“Berapa kau terima?
Apa? Lima ratus ribu? Gila! Itu terlalu murah! Ini barang bagus!”
Aku tersudut sendirian.
Itu percakapan mengenai apa?
“Enam ratus ribu
gimana?” Kakakmu kembali mengajukan penawaran.
Aku melihat pedagang
itu mengangguk.
“Oke, deal!” Lalu kakakmu menukarku dengan
lembaran ratusan ribu. Dia menyerahkanku ke tangan orang asing.
Aku panik. Tidak,
tidak! Jangan jual aku. Aku milik Johan, dan tak mau berganti pemilik! Johan,
tolong! Kakakmu tidak berhak menjual aku.
“Aku yakin kau tidak
akan menyesal membelinya. Kamera itu benar-benar bagus,” ujar kakakmu.
“Kenapa kau mau
menjualnya?” Orang itu bertanya.
Mata kakakmu mendadak
berubah sendu, memancarkan jiwa yang kosong.
“Karena dia penuh kenangan tentang adikku. Aku tidak mau melihat benda
itu lagi.”
Aku termangu. Rupanya
begitu. Aku memang kamera kesayangan Johan. Aku dan Johan seperti tidak pernah
terpisahkan. Bahkan hubungan kami seperti sepasang kekasih. Johan pernah
diputuskan oleh pacarnya karena terlalu sibuk denganku. Ya, hobi Johan adalah travelling menjelajah Indonesia, sambil
membawaku untuk memotret pemandangan.
Aku jadi teringat saat
pertama kali aku bertemu dengan Johan. Aku tergolek di lemari kaca sebuah toko
kamera. Tidak ada yang mau membeliku. Aku hanyalah sebuah kamera tua.
Orang-orang yang berdatangan hanya mau membeli kamera pocket ataupun DSLR.
Kemudian aku melihat pemuda berusia 20 tahun melangkah masuk ke dalam toko.
Pemuda itu mengenakan kaos dan celana
jeans. Sebagian matanya tertutup topi. Pemuda itu memandangiku lama sekali.
Setelah itu dia keluar tanpa bertanya-tanya dahulu kepada pemilik toko.
Esoknya dia kembali.
Lalu dia berbincang kepada pemilik toko sembari menunjukku. Setelah terjadi
tawar menawar sengit, akhirnya dia membuka dompetnya, lalu membayar sejumlah
uang. Aku dimasukkan ke dalam kotak, lalu aku dibawa oleh pemuda itu. Pemuda
itu kamu, Johan. Ingatkah kamu? Itulah pertama kalinya aku merasa tersentuh.
Kamu memilihku di antara puluhan barang-barang yang kualitas dan modelnya jauh
lebih bagus daripadaku.
Sejak hari itu,
petualangan-petualangan kita tidak pernah berakhir. Lalu kau merangkai
perjalanan-perjalanan itu ke dalam kata-kata. Kau rekam semuanya ke dalam
catatan. Hingga akhirnya semua kisah itu diterbitkan. Kisah tentang kamu dan
aku.***
Invite my Path:
Veronica Faradilla
No comments:
Post a Comment