Friday, September 12, 2014

DIA... TIGA BELAS TAHUN YANG LALU

NOTE: KOSAH YANG DIIKUTSERTAKAN DALAM EVENT CINTA PERTAMA YANG DISELENGGARAKAN OLEH EMBART NUGROHO


DIA… TIGA BELAS TAHUN YANG LALU
Oleh: Veronica Faradilla
SDN 09 Pagi. Jakarta. 2000.
“Radith, aku sukaaa sama kamu!” teriakku keras-keras di tengah lapangan sekolah.
Laki-laki bernama Radith yang sedang asyik bermain bola langsung menghentikan aksinya. Dia menoleh terkejut, mencari-cari sumber suara. Aku dapat melihat raut wajahnya yang berubah pucat pasi seperti sehelai kertas HVS. Ketika dia menemukan si pelontar kalimat, yakni diriku, dia langsung kabur menjauhiku. Mungkin dia malu. Mungkin juga dia kesal karena aku mampu berbuat senekat itu. Atau mungkin juga dia takut kepadaku.
Aku tidak tahu apa yang Radith rasakan. Yang aku tahu, sejak saat itu Radith tidak pernah mau menegurku. Dia berusaha mencari kutub yang berlawanan denganku. Jika aku berada di Utara, maka dia akan pergi ke Selatan. Jika aku menyusulnya ke Selatan, maka dia akan bergegas ke Utara. Begitu seterusnya. Seluruh perilakunya membuatku merasa semakin jauh darinya. Bahkan untuk berteman pun, sepertinya dia sudah tidak mau lagi. Aku sangat sedih. Radith Adidharman (nama samaran) adalah cinta pertamaku tiga belas tahun yang lalu. Cinta pertamaku pada pagi yang masih ingusan.
SDN 09 Pagi. Jakarta. 1997
Radith adalah teman sekelasku. Kami pernah duduk sebangku saat kami tengah mengejar ilmu di kelas tiga. Awalnya aku tidak begitu menyukainya. Dia adalah pribadi yang jahil dan pem-bully.  Banyak tingkah lakunya yang membuatku kesal setengah mati. Salah satunya adalah: Ketika aku sedang asyik menulis, dia selalu merebut pulpenku lalu membuangnya ke luar jendela kelas.
“Radiiiith,” keluhku, “cepetan ambilin!”
Radith hanya menjulurkan lidahnya.
“Ambilin dooong! Aku kan jadi nggak bisa nulis!”
“Bodo amat!” sahut Radith acuh. Tingkahnya sangat menyebalkan, membuatku semakin gemas kepadanya.
Aku mencubit lengannya keras-keras.
“Aduuuh!” seru Radith. Dia sibuk mengusap-usap kulit lengannya yang memerah.
“Syukurin!” Kini giliranku menjulurkan lidah kepadanya.
Balas dendam yang sempurna, batinku kala itu.
Keributan antara aku dan Radith rupanya memancing perhatian Bu Anna, wali kelas kami. Alih-alih melerai pertengkaran kami, Bu Anna malah memperparah kondisinya dengan memerintahkanku dan Radith untuk berdiri di depan kelas. Aku semakin marah kepada Radith. Bayangkan saja, dia membuatku malu karena dihukum di hadapan teman-teman sekelasku. Ada yang menggoda kami, ada yang mengejek, ada pula yang menertawakan kami. Semua ini terjadi gara-gara Radith. Andai saja dia tidak membuang pulpenku, maka aku tidak perlu dihukum di depan kelas. Namun sepertinya Radith tidak peduli. Dia malah terlihat menikmati diriku yang tengah dihukum bersamanya. Sungguh, aku semakin membenci Radith. Radith tetaplah Radith. Sosok yang super duper menyebalkan!
            Pada pagi yang lain, Radith pernah diam-diam menaruh permen karet di bangkuku. Aku yang baru saja masuk ke dalam kelas, tidak tahu apa yang baru saja dilakukan oleh Radith. Tanpa beban, aku segera duduk dibangkuku. Saat itulah aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di bagian belakang rokku. Spontan saja aku meraba rokku. Astaga, permen karet itu sudah menempel pada rokku, dan sulit untuk dilepaskan. Rokku menjadi sangat kotor dan lengket.
            “Duuuuhhhh, Radiiiiiittthhh!!!! Bu Guruuuuuuuuu!!!” jeritku kesal. Setengah mati aku menahan air mataku.
Radith tetaplah Radith. Sosok yang super duper menyebalkan. Semakin aku menunjukkan perasaan kesalku kepadanya, dia justru semakin meningkatkan level kejahilannya terhadapku. Dia sering menyembunyikan tasku, bekal makananku, bahkan seragam olahragaku. Seiring berjalannya waktu, aku merasa terbiasa dengan ulah usil Radith. Jika Radith tidak menjahiliku, maka aku merasa ada yang kurang.
SDN 09 Pagi. Jakarta. 2000
Tahun ini aku resmi duduk di bangku kelas enam. Tentunya bersama Radith. Dari kelas satu hingga kelas enam kami selalu sekelas. Di sekolah kami memang tidak pernah ada pergantian teman-teman sekelas. Hanya saja setiap enam bulan sekali, selalu ada rotasi pergantian teman-teman sebangku. Aku duduk sendiri, di bangku ke dua dari belakang. Sedangkan Radith duduk di bangku ketiga dari depan, pada barisan bangku di sebelahku. Meskipun aku tidak sebangku lagi dengannya, namun aku masih mampu melihat punggung Radith dengan jelas dari tempat dudukku.
Beberapa tahun belakangan, aku melihat sesuatu yang berbeda dari diri Radith. Radith berubah menjadi pendiam, namun semakin berprestasi. Entah apa yang menyebabkannya seperti itu. Tetapi benar juga kata pepatah, bahwa semakin berisi, padi akan semakin menunduk. Begitulah Radith.
Diam-diam aku menjadi tertarik dengan Radith. Aku sering mengamati Radith dari belakang. Aku berusaha mencari celah untuk mendekatinya dengan berbagai alasan. Alasan yang sangat dibuat-buat tentunya. Contohnya aku berpura-pura kehilangan pulpenku, lalu mencoba meminjam darinya. Aku sering membagi bekalku kepadanya. Aku juga sering minta tolong untuk diajarkan mata pelajaran yang sebenarnya sudah kumengerti. Intinya, aku berusaha selalu “ada” di setiap sudut pandang matanya.
“Kamu naksir banget ya sama Radith?” tanya Mitha, temanku.
Aku terkejut. “Nggak kok!”
“Nggak usah bohong deh. Pedekate kamu tuh kelihatan banget, tahu!” tukas Mitha.
Ucapan Mitha bagaikan halilintar di telingaku. Spontan saja aku menjadi khawatir. Benarkah? Mitha yang bukan teman dekatku saja menyadari perasaanku, apalagi Radith.
Mitha duduk di dekatku, berusaha mengorek-ngorek informasi dariku. “Kok kamu bisa naksir sih sama Radith?”
Aku diam saja. Pertanyaan Mitha seakan-akan meragukan bahwa Radith mempunyai “kelebihan” yang membuat dirinya ditaksir oleh orang lain. Radith memang bukanlah laki-laki yang elok fisiknya, ataupun populer. Radith bertubuh pendek, kurus, berkulit sawo matang, dan bergigi kelinci. Tidak ada bagus-bagusnya. Tetapi apakah cinta hanya boleh diberikan kepada orang yang elok fisiknya saja?
“Pasti gara-gara dia selalu rangking satu terus ya?” goda Mitha sembari tertawa keras. “Kamu suka cowok kayak gitu toooh! Yang kelihatannya coolcool gimanaaa gitu!”
Aku menggaruk-garuk kepalaku. Salah tingkah! Mungkin celetukan Mitha yang satu ini ada benarnya. Aku memang suka laki-laki yang pintar dan pendiam. Kebetulan, Radith memenuhi kriteria itu.
“Tembak aja!”
Aku terkejut mendengar usul Mitha. “Idiiih, ngomong apaan sih kamu, Mitha! Nggak usah aneh-aneh deh.”
“Loh kok aneh-aneh sih? Aku serius. Radith itu juga kelihatannya suka kok sama kamu.”
“Kamu tahu dari mana?” tanyaku.
“Insting aja.”
Aku kembali diam.
“Percaya deh, instingku nggak pernah salah. Aku lihat Radith juga suka kok sama kamu, cuma dia malu buat ngungkapinnya. Makanya, harus kamu dong yang ambil langkah duluan. Lagian kan sayang kalau kalian sama-sama suka, tapi sama-sama nyembunyiin.”
Aku tergoda oleh ucapan Mitha. Sebenarnya aku ingin sekali menjadi pacar Radith. Cinta ini benar-benar menggebu-gebu di dadaku. Radith adalah alasanku berani berbuat hal-hal di luar kebiasaanku.
“Tembak sekarang!” tukas Mitha. Kemudian Mitha menunjuk sesosok laki-laki yang sedang asyik berlari-lari mengejar bola. Peluh membasahi seragam olahraga laki-laki itu. “Tuuuh dia lagi main bola. Panjang umur kan? Ayo, cepetan tembak! Jangan ragu-ragu!”
Aku mendadak kelu. Haruskah aku mengungkapkan perasaan cintaku kepada Radith?
“Ayo dong, Ver!” bujuk Mitha sekali lagi.
Seperti terkena hipnotis, aku mulai melangkah menghampiri lapangan sekolah. Mataku hanya tertumbuk pada sosok Radith. Aku tidak memerhatikan teman-teman sekelasku yang lain yang juga sedang asyik bermain bola. Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu memejamkan mata.
“Radith, aku sukaaa sama kamuuu!!!” teriakku sekuat tenaga.
Aku masih mengingat detail bagaimana suasana riuh lapangan berubah menjadi hening. Aku membuka mataku, melihat Radith menoleh ke kiri dan ke kanan, mencoba mencari siapa yang telah mengatakan cinta kepadanya. Kemudian kedua bola matanya tertuju kepadaku. Wajah radith berubah menjadi pucat. Radith kabur. Ya, dia pergi begitu saja meninggalkanku di tengah lapangan.
Sorak sorai pecah mengerumuniku. Teman-teman sekelasku baik laki-laki maupun perempuan datang mengelilingiku.
“Cieee Veroooo… Cieeee!” goda mereka.
“Naksir Radith nih yeee!!!” timpal yang lain.
“Tapi Radith kabur tuh! Kejar dong, Ver!”
Satu persatu suara mereka menembusi telingaku, membuatku sadar bahwa insting Mitha salah. Radith tidak naksir kepadaku. Jika dia juga suka kepadaku, dia tidak akan setakut itu.
Ketika suara-suara godaan dan ejekan sudah mulai melemah, teman-teman perempuanku (tidak termasuk Mitha) datang lalu mengajakku ke pojok sekolah. Rupanya mereka semua juga menyaksikan aksi penembakan bodoh yang telah kulakukan. Aku tidak sempat memerhatikan siapa saja yang ada di lapangan saat itu. Mudah-mudahan saja tidak ada guru.
“Gila kamu Ver, nekat banget!” seru Rahma, sahabatku.
“Habisnya aku disuruh Mitha buat nembak Radith,” kilahku.
“Kok mau sih?” tanya Kiki.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Yang pasti aku menyesal karena termakan ucapan Mitha. Aku sadar bahwa aku sangat gegabah. Waktu tidak bisa diputar ulang. Aku tidak mempunyai kekuatan untuk membuat seluruh teman-temanku dan juga Radith menjadi amnesia, lalu melupakah peristiwa memalukan di lapangan sekolah. Apa yang harus kulakukan saat aku masuk ke dalam kelas nanti?
“Kalo kamu disuruh makan daun sama Mitha, jangan-jangan kamu nurut juga!”  timpal Rahma.
Sahabat-sahabatku benar-benar baik. Mereka mengingatkanku bahwa tindakanku itu sangat sangat sangat bodoh. Mereka benar-benar baik dengan menekan mentalku terus-terusan.
Akhirnya bel berdentang. Namun bel sekolah hari ini terdengar seperti suara ambulans yang sedang mengangkut mayat. Begitu menyeramkan, menghunus gendang telingaku. Benar saja, saat aku melangkah memasuki kelas, teman-teman sekelasku kembali ramai menggodaku dan Radith. Aku melirik Radith. Aku dapat menangkap ekspresi kesal pada wajahnya.
Aku tahu, gara-gara aku, kini Radith ikut terseret dalam masalah ini. Radith ikut-ikutan diejek dan dipaksa oleh teman-teman sekelasku untuk jadian denganku. Namun cinta tidak dapat dipaksakan, bukan? Aku merasakan pahitnya penolakan cinta saat itu juga. Tidak ada kenangan manis saat SD. Mirisnya, cinta pertamaku bertepuk sebelah tangan.
***
Aku mengunjungi rumah asri dengan pagar   berwarna hijau. Aku memandangi sekeliling rumah yang sepi tersebut. Meskipun begitu aku tahu penghuninya ada di dalam. Rumah ini sudah tidak asing lagi. Aku selalu ke sini setiap hari dengan sebuah maksud yang sulit kuungkapkan. Ini adalah rumah Radith.
Setiap hari aku melatih diriku di depan cermin untuk meminta maaf kepada Radith, dan memintanya untuk melupakan peristiwa penembakan itu. Aku ingin memohon kepadanya agar bertingkah biasa saja di hadapanku. Tidak usah menghindariku seperti aku adalah monster yang akan memangsa anak-anak kecil. Aku ingin dapat menjalin persahabatan dengannya, tanpa ada embel-embel cinta. Namun saat aku sudah tiba di depan pagar rumah Radith, seluruh kata-kata tersebut buyar menjadi debu.
“Loh, Vero,” sapa seseorang.
Aku mendongak dan melihat seorang wanita paruh baya sedang berdiri di balik pagar sembari memegang selang air. Ibu Radith.
“Eh T-Tante,” sahutku setengah gelagapan. Aku tidak menyangka bahwa Ibu Radith ada di balik pagar rumahnya. Apakah dia melihatku berdiri di depan rumahnya sejak tadi? Jika iya, kacaulah semuanya.
Ibu Radith membuka pagar. Wajahnya ramah. Senyum lebar terkembang dari bibirnya yang tebal. Aura hangat dipancarkan oleh wanita ini. Berbeda sekali dengan Radith. Radith selalu memasang wajah dingin dan ketus jika sedang berpapasan denganku.
“Dari tadi ya?” tanya Ibu Radith.
Dari nada suaranya aku yakin bahwa Ibu Radith baru menyadari kehadiranku. Aku buru-buru menggeleng.
“Cari Radith ya?”
Aku  kembali menggeleng.
“Masuk yuk. Radith ada kok di dalam, lagi baca buku.”
“Nggak, Bu. Makasih. Aku pergi dulu yaaa.” Tanpa basa-basi lagi aku segera pergi meninggalkan Ibu Radith yang sedang keheranan. Aku menarik nafas panjang. Aku tahu aku tidak mungkin berani mengajak Radith untuk berbicara berdua saja. Radith sudah menganggapku musuh, dan memilih untuk menghindariku.
***

Januari. Bandung. 2013
Sang Pria dan sang wanita berjalan berdampingan dalam balutan pakaian putih-putih. Langkah kaki mereka begitu mantap menjejaki karpet merah di tengah ruangan. Hingar bingar iringan musik berpadu apik dengan iringan keluarga, memberikan suasana meriah bagi sang raja dan ratu sehari. Sang wanita melingkarkan tangannya semakin erat saja pada lengan sang pria. Senyum serta sorot mata kedamaian terlihat menghiasi raut wajah mereka, meskipun peluh terlihat menghiasi pelipis mereka berdua.
Mataku tertuju pada sang pria. Pria itu terlihat gagah dan sangat bahagia. Ah, tidak. Aku sangat iri melihatnya, karena yang berada di sisi pria itu bukan aku, melainkan wanita teman kuliah pria itu. Pria itu menoleh kepada sang wanita, lalu tersenyum manis. Mereka kembali berjalan menuju singgasana yang telah disiapkan khusus untuk mereka.
Ya, aku sedang menghadiri acara pernikahan Radith, cinta pertamaku. Betapa Radith terlihat berkilau di pelaminan itu. Acara-acara dilanjutkan oleh sambutan-sambutan dari para keluarga, rekan, dan sahabat.
“Silahkan untuk sang mempelai pria untuk menyampaikan sepatah atau dua patah kata kepada para tamu undangan,” tukas MC membuatku mendongak seketika. Apakah ini berarti bahwa Radith diundang untuk berbicara?
Radith berdiri lalu menyambut microfon yang diberikan oleh MC. Radith melemparkan senyum kepada seisi ruangan di gedung itu.
“Selamat siang semua. Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih untuk seluruh keluarga yang membantu hingga terlaksananya acara ini. Saya juga berterima kasih kepada tamu undangan yang sudah bersedia meluangkan waktu untuk datang ke acara pernikahanku dan Lila.” Radith melirik Lila. “Betapa saya beruntung telah mengenalnya, hingga akhirnya memilikinya.”
Tiba-tiba salah seorang tamu melontarkan celetuk, “Ceritain dong gimana awal pertemuan dengan Lila!”
Aku menegakkan telingaku. Pertanyaan itu pula yang selama ini menggema di dalam lorong-lorong hidupku.
“Aku dan Lila saling mengenal sudah lama. Dia adalah tetanggaku. Lalu kami bertemu secara tidak sengaja di kampus. Rupanya dia satu jurusan denganku. Sejak saat itu kami sering menghabiskan waktu bersama, lalu berpacaran. Kami menjalin hubungan tidak begitu lama. Hanya satu tahun berpacaran. Lalu kami merasa sama-sama cocok, kami memutuskan untuk menikah. Memang sih kesannya terburu-buru. Tapi bagiku tidak masalah. Aku mencintainya, dan yakin ingin menua bersama dengannya.”
Aku menunduk. Ada genangan hangat yang hendak menyeruak ke luar dari mataku. Aku terlalu sakit hati untuk mendengar kelanjutan cerita Radith. Maka aku memutuskan untuk keluar dari gedung itu. Sudah tidak ada lagi harapan. Meskipun begitu aku tidak pernah menyesal menjadikan Radith sebagai cinta pertamaku. Happy wedding, Radith. Selamat menempuh hidup baru. *** (vf)

Invite my Path:
Veronica Faradilla

No comments:

Post a Comment