DIA…
TIGA BELAS TAHUN YANG LALU
Oleh:
Veronica Faradilla
SDN
09 Pagi. Jakarta. 2000.
“Radith, aku sukaaa
sama kamu!” teriakku keras-keras di tengah lapangan sekolah.
Laki-laki bernama
Radith yang sedang asyik bermain bola langsung menghentikan aksinya. Dia
menoleh terkejut, mencari-cari sumber suara. Aku dapat melihat raut wajahnya yang
berubah pucat pasi seperti sehelai kertas HVS. Ketika dia menemukan si pelontar
kalimat, yakni diriku, dia langsung kabur menjauhiku. Mungkin dia malu. Mungkin
juga dia kesal karena aku mampu berbuat senekat itu. Atau mungkin juga dia
takut kepadaku.
Aku tidak tahu apa yang
Radith rasakan. Yang aku tahu, sejak saat itu Radith tidak pernah mau
menegurku. Dia berusaha mencari kutub yang berlawanan denganku. Jika aku berada
di Utara, maka dia akan pergi ke Selatan. Jika aku menyusulnya ke Selatan, maka
dia akan bergegas ke Utara. Begitu seterusnya. Seluruh perilakunya membuatku
merasa semakin jauh darinya. Bahkan untuk berteman pun, sepertinya dia sudah
tidak mau lagi. Aku sangat sedih. Radith Adidharman (nama samaran) adalah cinta
pertamaku tiga belas tahun yang lalu. Cinta pertamaku pada pagi yang masih
ingusan.
SDN
09 Pagi. Jakarta. 1997
Radith adalah teman
sekelasku. Kami pernah duduk sebangku saat kami tengah mengejar ilmu di kelas
tiga. Awalnya aku tidak begitu menyukainya. Dia adalah pribadi yang jahil dan
pem-bully. Banyak tingkah lakunya yang membuatku kesal
setengah mati. Salah satunya adalah: Ketika aku sedang asyik menulis, dia
selalu merebut pulpenku lalu membuangnya ke luar jendela kelas.
“Radiiiith,” keluhku,
“cepetan ambilin!”
Radith hanya
menjulurkan lidahnya.
“Ambilin dooong! Aku
kan jadi nggak bisa nulis!”
“Bodo amat!” sahut
Radith acuh. Tingkahnya sangat menyebalkan, membuatku semakin gemas kepadanya.
Aku mencubit lengannya
keras-keras.
“Aduuuh!” seru Radith.
Dia sibuk mengusap-usap kulit lengannya yang memerah.
“Syukurin!” Kini
giliranku menjulurkan lidah kepadanya.
Balas
dendam yang sempurna, batinku kala itu.
Keributan antara aku
dan Radith rupanya memancing perhatian Bu Anna, wali kelas kami. Alih-alih
melerai pertengkaran kami, Bu Anna malah memperparah kondisinya dengan
memerintahkanku dan Radith untuk berdiri di depan kelas. Aku semakin marah
kepada Radith. Bayangkan saja, dia membuatku malu karena dihukum di hadapan
teman-teman sekelasku. Ada yang menggoda kami, ada yang mengejek, ada pula yang
menertawakan kami. Semua ini terjadi gara-gara Radith. Andai saja dia tidak
membuang pulpenku, maka aku tidak perlu dihukum di depan kelas. Namun
sepertinya Radith tidak peduli. Dia malah terlihat menikmati diriku yang tengah
dihukum bersamanya. Sungguh, aku semakin membenci Radith. Radith tetaplah
Radith. Sosok yang super duper menyebalkan!
Pada
pagi yang lain, Radith pernah diam-diam menaruh permen karet di bangkuku. Aku
yang baru saja masuk ke dalam kelas, tidak tahu apa yang baru saja dilakukan
oleh Radith. Tanpa beban, aku segera duduk dibangkuku. Saat itulah aku merasa
ada sesuatu yang mengganjal di bagian belakang rokku. Spontan saja aku meraba
rokku. Astaga, permen karet itu sudah menempel pada rokku, dan sulit untuk
dilepaskan. Rokku menjadi sangat kotor dan lengket.
“Duuuuhhhh,
Radiiiiiittthhh!!!! Bu Guruuuuuuuuu!!!” jeritku kesal. Setengah mati aku
menahan air mataku.
Radith tetaplah Radith.
Sosok yang super duper menyebalkan. Semakin aku menunjukkan perasaan kesalku
kepadanya, dia justru semakin meningkatkan level kejahilannya terhadapku. Dia
sering menyembunyikan tasku, bekal makananku, bahkan seragam olahragaku.
Seiring berjalannya waktu, aku merasa terbiasa dengan ulah usil Radith. Jika
Radith tidak menjahiliku, maka aku merasa ada yang kurang.
SDN
09 Pagi. Jakarta. 2000
Tahun ini aku resmi
duduk di bangku kelas enam. Tentunya bersama Radith. Dari kelas satu hingga
kelas enam kami selalu sekelas. Di sekolah kami memang tidak pernah ada
pergantian teman-teman sekelas. Hanya saja setiap enam bulan sekali, selalu ada
rotasi pergantian teman-teman sebangku. Aku duduk sendiri, di bangku ke dua
dari belakang. Sedangkan Radith duduk di bangku ketiga dari depan, pada barisan
bangku di sebelahku. Meskipun aku tidak sebangku lagi dengannya, namun aku
masih mampu melihat punggung Radith dengan jelas dari tempat dudukku.
Beberapa tahun
belakangan, aku melihat sesuatu yang berbeda dari diri Radith. Radith berubah menjadi
pendiam, namun semakin berprestasi. Entah apa yang menyebabkannya seperti itu.
Tetapi benar juga kata pepatah, bahwa semakin berisi, padi akan semakin
menunduk. Begitulah Radith.
Diam-diam aku menjadi
tertarik dengan Radith. Aku sering mengamati Radith dari belakang. Aku berusaha
mencari celah untuk mendekatinya dengan berbagai alasan. Alasan yang sangat
dibuat-buat tentunya. Contohnya aku berpura-pura kehilangan pulpenku, lalu
mencoba meminjam darinya. Aku sering membagi bekalku kepadanya. Aku juga sering
minta tolong untuk diajarkan mata pelajaran yang sebenarnya sudah kumengerti.
Intinya, aku berusaha selalu “ada” di setiap sudut pandang matanya.
“Kamu naksir banget ya
sama Radith?” tanya Mitha, temanku.
Aku terkejut. “Nggak
kok!”
“Nggak usah bohong deh.
Pedekate kamu tuh kelihatan banget, tahu!” tukas Mitha.
Ucapan Mitha bagaikan
halilintar di telingaku. Spontan saja aku menjadi khawatir. Benarkah? Mitha
yang bukan teman dekatku saja menyadari perasaanku, apalagi Radith.
Mitha duduk di dekatku,
berusaha mengorek-ngorek informasi dariku. “Kok kamu bisa naksir sih sama
Radith?”
Aku diam saja.
Pertanyaan Mitha seakan-akan meragukan bahwa Radith mempunyai “kelebihan” yang
membuat dirinya ditaksir oleh orang lain. Radith memang bukanlah laki-laki yang
elok fisiknya, ataupun populer. Radith bertubuh pendek, kurus, berkulit sawo
matang, dan bergigi kelinci. Tidak ada bagus-bagusnya. Tetapi apakah cinta
hanya boleh diberikan kepada orang yang elok fisiknya saja?
“Pasti gara-gara dia
selalu rangking satu terus ya?” goda Mitha sembari tertawa keras. “Kamu suka
cowok kayak gitu toooh! Yang kelihatannya cool…
cool gimanaaa gitu!”
Aku menggaruk-garuk
kepalaku. Salah tingkah! Mungkin celetukan Mitha yang satu ini ada benarnya.
Aku memang suka laki-laki yang pintar dan pendiam. Kebetulan, Radith memenuhi
kriteria itu.
“Tembak aja!”
Aku terkejut mendengar
usul Mitha. “Idiiih, ngomong apaan sih kamu, Mitha! Nggak usah aneh-aneh deh.”
“Loh kok aneh-aneh sih?
Aku serius. Radith itu juga kelihatannya suka kok sama kamu.”
“Kamu tahu dari mana?”
tanyaku.
“Insting aja.”
Aku kembali diam.
“Percaya deh, instingku
nggak pernah salah. Aku lihat Radith juga suka kok sama kamu, cuma dia malu
buat ngungkapinnya. Makanya, harus kamu dong yang ambil langkah duluan. Lagian
kan sayang kalau kalian sama-sama suka, tapi sama-sama nyembunyiin.”
Aku tergoda oleh ucapan
Mitha. Sebenarnya aku ingin sekali menjadi pacar Radith. Cinta ini benar-benar
menggebu-gebu di dadaku. Radith adalah alasanku berani berbuat hal-hal di luar
kebiasaanku.
“Tembak sekarang!”
tukas Mitha. Kemudian Mitha menunjuk sesosok laki-laki yang sedang asyik
berlari-lari mengejar bola. Peluh membasahi seragam olahraga laki-laki itu.
“Tuuuh dia lagi main bola. Panjang umur kan? Ayo, cepetan tembak! Jangan
ragu-ragu!”
Aku mendadak kelu.
Haruskah aku mengungkapkan perasaan cintaku kepada Radith?
“Ayo dong, Ver!” bujuk
Mitha sekali lagi.
Seperti terkena
hipnotis, aku mulai melangkah menghampiri lapangan sekolah. Mataku hanya
tertumbuk pada sosok Radith. Aku tidak memerhatikan teman-teman sekelasku yang
lain yang juga sedang asyik bermain bola. Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu
memejamkan mata.
“Radith, aku sukaaa
sama kamuuu!!!” teriakku sekuat tenaga.
Aku masih mengingat
detail bagaimana suasana riuh lapangan berubah menjadi hening. Aku membuka
mataku, melihat Radith menoleh ke kiri dan ke kanan, mencoba mencari siapa yang
telah mengatakan cinta kepadanya. Kemudian kedua bola matanya tertuju kepadaku.
Wajah radith berubah menjadi pucat. Radith kabur. Ya, dia pergi begitu saja
meninggalkanku di tengah lapangan.
Sorak sorai pecah
mengerumuniku. Teman-teman sekelasku baik laki-laki maupun perempuan datang
mengelilingiku.
“Cieee Veroooo…
Cieeee!” goda mereka.
“Naksir Radith nih
yeee!!!” timpal yang lain.
“Tapi Radith kabur tuh!
Kejar dong, Ver!”
Satu persatu suara
mereka menembusi telingaku, membuatku sadar bahwa insting Mitha salah. Radith
tidak naksir kepadaku. Jika dia juga suka kepadaku, dia tidak akan setakut itu.
Ketika suara-suara
godaan dan ejekan sudah mulai melemah, teman-teman perempuanku (tidak termasuk
Mitha) datang lalu mengajakku ke pojok sekolah. Rupanya mereka semua juga
menyaksikan aksi penembakan bodoh yang telah kulakukan. Aku tidak sempat
memerhatikan siapa saja yang ada di lapangan saat itu. Mudah-mudahan saja tidak
ada guru.
“Gila kamu Ver, nekat
banget!” seru Rahma, sahabatku.
“Habisnya aku disuruh
Mitha buat nembak Radith,” kilahku.
“Kok mau sih?” tanya
Kiki.
Aku tidak tahu harus
menjawab apa. Yang pasti aku menyesal karena termakan ucapan Mitha. Aku sadar
bahwa aku sangat gegabah. Waktu tidak bisa diputar ulang. Aku tidak mempunyai
kekuatan untuk membuat seluruh teman-temanku dan juga Radith menjadi amnesia,
lalu melupakah peristiwa memalukan di lapangan sekolah. Apa yang harus
kulakukan saat aku masuk ke dalam kelas nanti?
“Kalo kamu disuruh
makan daun sama Mitha, jangan-jangan kamu nurut juga!” timpal Rahma.
Sahabat-sahabatku
benar-benar baik. Mereka mengingatkanku bahwa tindakanku itu sangat sangat
sangat bodoh. Mereka benar-benar baik dengan menekan mentalku terus-terusan.
Akhirnya bel
berdentang. Namun bel sekolah hari ini terdengar seperti suara ambulans yang
sedang mengangkut mayat. Begitu menyeramkan, menghunus gendang telingaku. Benar
saja, saat aku melangkah memasuki kelas, teman-teman sekelasku kembali ramai
menggodaku dan Radith. Aku melirik Radith. Aku dapat menangkap ekspresi kesal
pada wajahnya.
Aku tahu, gara-gara
aku, kini Radith ikut terseret dalam masalah ini. Radith ikut-ikutan diejek dan
dipaksa oleh teman-teman sekelasku untuk jadian denganku. Namun cinta tidak
dapat dipaksakan, bukan? Aku merasakan pahitnya penolakan cinta saat itu juga.
Tidak ada kenangan manis saat SD. Mirisnya, cinta pertamaku bertepuk sebelah
tangan.
***
Aku mengunjungi rumah
asri dengan pagar berwarna hijau. Aku
memandangi sekeliling rumah yang sepi tersebut. Meskipun begitu aku tahu
penghuninya ada di dalam. Rumah ini sudah tidak asing lagi. Aku selalu ke sini
setiap hari dengan sebuah maksud yang sulit kuungkapkan. Ini adalah rumah
Radith.
Setiap hari aku melatih
diriku di depan cermin untuk meminta maaf kepada Radith, dan memintanya untuk
melupakan peristiwa penembakan itu. Aku ingin memohon kepadanya agar bertingkah
biasa saja di hadapanku. Tidak usah menghindariku seperti aku adalah monster
yang akan memangsa anak-anak kecil. Aku ingin dapat menjalin persahabatan
dengannya, tanpa ada embel-embel cinta. Namun saat aku sudah tiba di depan
pagar rumah Radith, seluruh kata-kata tersebut buyar menjadi debu.
“Loh, Vero,” sapa
seseorang.
Aku mendongak dan
melihat seorang wanita paruh baya sedang berdiri di balik pagar sembari
memegang selang air. Ibu Radith.
“Eh T-Tante,” sahutku
setengah gelagapan. Aku tidak menyangka bahwa Ibu Radith ada di balik pagar
rumahnya. Apakah dia melihatku berdiri di depan rumahnya sejak tadi? Jika iya,
kacaulah semuanya.
Ibu Radith membuka
pagar. Wajahnya ramah. Senyum lebar terkembang dari bibirnya yang tebal. Aura
hangat dipancarkan oleh wanita ini. Berbeda sekali dengan Radith. Radith selalu
memasang wajah dingin dan ketus jika sedang berpapasan denganku.
“Dari tadi ya?” tanya
Ibu Radith.
Dari nada suaranya aku
yakin bahwa Ibu Radith baru menyadari kehadiranku. Aku buru-buru menggeleng.
“Cari Radith ya?”
Aku kembali menggeleng.
“Masuk
yuk. Radith ada kok di dalam, lagi baca buku.”
“Nggak,
Bu. Makasih. Aku pergi dulu yaaa.” Tanpa basa-basi lagi aku segera pergi
meninggalkan Ibu Radith yang sedang keheranan. Aku menarik nafas panjang. Aku
tahu aku tidak mungkin berani mengajak Radith untuk berbicara berdua saja.
Radith sudah menganggapku musuh, dan memilih untuk menghindariku.
***
Januari.
Bandung. 2013
Sang Pria dan sang
wanita berjalan berdampingan dalam balutan pakaian putih-putih. Langkah kaki
mereka begitu mantap menjejaki karpet merah di tengah ruangan. Hingar bingar
iringan musik berpadu apik dengan iringan keluarga, memberikan suasana meriah
bagi sang raja dan ratu sehari. Sang wanita melingkarkan tangannya semakin erat
saja pada lengan sang pria. Senyum serta sorot mata kedamaian terlihat
menghiasi raut wajah mereka, meskipun peluh terlihat menghiasi pelipis mereka
berdua.
Mataku tertuju pada
sang pria. Pria itu terlihat gagah dan sangat bahagia. Ah, tidak. Aku sangat
iri melihatnya, karena yang berada di sisi pria itu bukan aku, melainkan wanita
teman kuliah pria itu. Pria itu menoleh kepada sang wanita, lalu tersenyum
manis. Mereka kembali berjalan menuju singgasana yang telah disiapkan khusus
untuk mereka.
Ya, aku sedang
menghadiri acara pernikahan Radith, cinta pertamaku. Betapa Radith terlihat
berkilau di pelaminan itu. Acara-acara dilanjutkan oleh sambutan-sambutan dari
para keluarga, rekan, dan sahabat.
“Silahkan untuk sang
mempelai pria untuk menyampaikan sepatah atau dua patah kata kepada para tamu
undangan,” tukas MC membuatku mendongak seketika. Apakah ini berarti bahwa Radith
diundang untuk berbicara?
Radith berdiri lalu
menyambut microfon yang diberikan oleh MC. Radith melemparkan senyum kepada
seisi ruangan di gedung itu.
“Selamat siang semua.
Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih untuk seluruh keluarga yang membantu hingga
terlaksananya acara ini. Saya juga berterima kasih kepada tamu undangan yang
sudah bersedia meluangkan waktu untuk datang ke acara pernikahanku dan Lila.”
Radith melirik Lila. “Betapa saya beruntung telah mengenalnya, hingga akhirnya
memilikinya.”
Tiba-tiba salah seorang
tamu melontarkan celetuk, “Ceritain dong gimana awal pertemuan dengan Lila!”
Aku menegakkan
telingaku. Pertanyaan itu pula yang selama ini menggema di dalam lorong-lorong
hidupku.
“Aku dan Lila saling
mengenal sudah lama. Dia adalah tetanggaku. Lalu kami bertemu secara tidak
sengaja di kampus. Rupanya dia satu jurusan denganku. Sejak saat itu kami
sering menghabiskan waktu bersama, lalu berpacaran. Kami menjalin hubungan
tidak begitu lama. Hanya satu tahun berpacaran. Lalu kami merasa sama-sama
cocok, kami memutuskan untuk menikah. Memang sih kesannya terburu-buru. Tapi
bagiku tidak masalah. Aku mencintainya, dan yakin ingin menua bersama
dengannya.”
Aku menunduk. Ada
genangan hangat yang hendak menyeruak ke luar dari mataku. Aku terlalu sakit
hati untuk mendengar kelanjutan cerita Radith. Maka aku memutuskan untuk keluar
dari gedung itu. Sudah tidak ada lagi harapan. Meskipun begitu aku tidak pernah
menyesal menjadikan Radith sebagai cinta pertamaku. Happy wedding, Radith. Selamat menempuh hidup baru. *** (vf)
Invite my Path:
Veronica Faradilla
No comments:
Post a Comment