Thursday, July 11, 2013

Review Film Confessions (Kokuhaku)


                                             
Jika anda sedang mencari film psikologi thriller yang memukau untuk ditonton saat akhir pekan, film Confessions dapat dijadikan pilihan. Film yang disutradarai oleh Tetsuya Nakashima ini diadaptasi dari novel best seller karya Kanae Minato. Novel psikologi thriller ini berhasil menyabet penghargaan 2009 Honya Taisho award. 

Suasana cerita cukup gelap, sesuai dengan sisi gelap para tokoh-tokohnya. Cerita ini dibuat dengan konsep pikiran dan “pengakuan” para tokoh utama. “Pengakuan” ini jugalah yang menjadi penggerak jalan cerita. Meskipun adegan-adegan yang ditampilkan tidak runut, melainkan melompat-lompat, namun alur film ini sangat rapi dan cukup logis. Pastinya anda juga akan bersimpati terhadap para tokoh, yang jahat sekalipun. Akting yang memukau serta jalan cerita yang unik, membuat film ini terkesan penuh warna, di tengah-tengah konsep yang sengaja dibuat kelabu.

Film ini dibuka oleh adegan murid-murid SMP  yang sedang minum sekotak susu. Suasana kelas digambarkan bising. Seluruh murid-murid kelas itu sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, dan sama sekali tidak memperhatikan  Moriguchi  sensei yang sedang mengajar di depan kelas. Moriguchi Sensei bercerita mengenai kesedihan yang dialaminya karena kehilangan suami dan anak perempuannya. Suaminya meninggal karena penyakit HIV AIDS, sedangkan anak perempuannya meninggal karena dibunuh. Kemudian Moriguchi sensei mengaku bahwa anaknya dibunuh oleh dua orang murid di dalam kelas itu. Mendengar hal tersebut, seluruh konsentrasi para murid langsung terfokus kepada Moriguchi sensei. Dari sinilah semua cerita bermula. Inilah tema utama yang menggerakkan seluruh pokok-pokok masalah dalam film ini.


Kita tidak diajak untuk mengungkap siapa kedua pembunuh tersebut. Ini bukan film detektif. Moriguchi sensei sudah mengungkap siapa kedua pembunuh tersebut dengan menyebutkan ciri-ciri dan kebiasaan mereka secara lengkap. Sebut saja murid A dan murid B. Moriguchi sensei juga mengaku bahwa dia telah menyuntikkan darah suaminya yang terjangkit HIV AIDS ke dalam susu kotak yang diminum oleh mereka. Murid A langsung berlari ke luar kelas dengan telapak tangan yang menutup mulutnya. Sedangkan murid B terpaku di tempatnya dengan ekspresi wajah shock. Setelah selesai bercerita, Moriguchi sensei menutup mata pelajaran hari itu. Itu juga merupakan hari terakhirnya mengajar di sana.

Kita akan mengira bahwa film ini terlalu cepat tamat. Pada mulanya saya juga berpikir seperti itu. Pembunuhnya sudah terungkap. Sang tokoh utama resign. Lalu apa lagi? Ternyata saya terkecoh. Film ini masih panjang. Semuanya menggambarkan kehidupan murid A dan murid B seusai aksi pembunuhan itu. Kehidupan yang penuh tekanan tentunya.

Hari baru dimulai dengan guru baru. Cerita selanjutnya diambil dari sudut pandang Mizuki Kitahara, seorang ketua kelas yang tertutup dan kesepian. Dia melihat bahwa murid B tidak masuk sekolah lagi. Murid B depresi, dan mengurung diri dalam kamarnya. Sedangkan murid A tetap masuk dan belajar seperti biasa walau diiringi oleh tatap cemooh teman-teman sekelasnya. Suasana “ijime” atau “bully”sangat kental terasa. Hampir seluruh murid melakukan ijime terhadap murid A, dan semua tindakan ijime tersebut dihitung dalam angka.

Pada pertengahan cerita akan dijelaskan apa yang menyebabkan murid A dan murid B melakukan pembunuhan itu. Semuanya mengundang rasa kasihan sekaligus geram. Menurut saya film ini sangat lengkap. Ada kasih sayang, ada obsesi, ada cinta remaja, ada pembunuhan, ada juga pengkhianatan. Semuanya ditutup oleh adegan balas dendam yang cerdas, manis, tetapi mengerikan. Banyak orang-orang tak bersalah yang akhirnya ikut menjadi korban dalam aksi balas dendam ini. Film ini sangat layak untuk dintonton, karena idenya cukup segar.

No comments:

Post a Comment